Bintan [DESA MERDEKA] – Perjalanan menuju Desa Berakit, Bintan, Kepulauan Riau, pada Selasa (11/3) siang, mengungkap pesona alam yang tersembunyi. Namun, di balik keindahan itu, tersimpan kekhawatiran masyarakat nelayan akibat kerusakan ekosistem mangrove.
Kerusakan mangrove, yang disebabkan oleh pembangunan dan eksploitasi, berdampak pada hasil tangkapan ikan nelayan. Musim paceklik pun menambah kesulitan hidup mereka. Dahulu, hutan bakau menjadi sumber ekonomi dengan pembuatan arang. Namun, kini, masyarakat beralih melestarikan mangrove.
Perempuan Desa Berakit memainkan peran penting dalam upaya pelestarian ini. Mereka tidak hanya melaut, tetapi juga aktif dalam penyemaian dan penanaman bibit mangrove. Yayasan Care Peduli (Care Indonesia) mendampingi mereka, memberikan edukasi dan pelatihan keterampilan baru.

Selain itu, perempuan Desa Berakit mengembangkan keterampilan membatik ecoprint dan cap dengan pewarna alami dari batang pohon bakau. Batik mangrove ini memiliki nilai jual tinggi dan berpotensi menjadi daya tarik ekowisata desa.
Upaya pelestarian mangrove ini mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka menyadari pentingnya mangrove bagi ekosistem, ekonomi, dan kedaulatan negara.
Masyarakat Desa Berakit, khususnya perempuan, memiliki semangat konservasi yang tinggi. Mereka ingin mengembangkan desa mereka sebagai kawasan ekowisata yang berkelanjutan, dengan tetap menjaga kelestarian alam.
“Kami ingin Desa Berakit, Bintan, menjadi pusat perekonomian wisata. Ekonomi wisata bisa bertumbuh kalau alamnya tetap dijaga. Alam yang penting adalah mangrove,” kata CEO Care Indonesia, Abdul Wahid.
Dengan semangat dan kerja keras, perempuan Desa Berakit membuktikan bahwa pelestarian lingkungan dan pengembangan ekonomi dapat berjalan beriringan.
Redaksi Desa Merdeka
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.