Oleh : Patriot Rieldo Perdana, Rajo Nan Sati
Opini [DESA MERDEKA] – Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai salah satu kelompok etnis di Indonesia yang memiliki sistem sosial dan budaya yang unik, termasuk dalam hal pola kepemimpinan. Kepemimpinan di Minangkabau tidak dibangun di atas kekuasaan absolut atau hierarki semata, melainkan berakar pada nilai adat, agama Islam, dan semangat musyawarah. Sistem ini bertumpu pada falsafah hidup yang mendalam: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”—adat bersendikan agama, agama bersendikan Al-Qur’an.
Kepemimpinan Matrilineal namun Maskulin
Minangkabau menganut sistem matrilineal, yaitu garis keturunan dan warisan ditarik dari pihak ibu. Namun, yang memegang peran sebagai pemimpin dalam keluarga besar (kaum) adalah laki-laki, khususnya mamak—yakni saudara laki-laki dari pihak ibu.
Dalam struktur kaum, mamak bertanggung jawab atas:
- Pengelolaan harta pusaka,
- Kesejahteraan anak kemenakan (keponakan dari saudari kandung),
- Pendidikan dan pembinaan moral keluarga.
Mamak yang memiliki kepribadian bijak, berwibawa, dan memahami adat dapat diangkat menjadi penghulu, yaitu pemimpin adat tertinggi dalam suatu suku. Tugasnya meliputi:
- Menjaga kelestarian adat,
- Menyelesaikan perselisihan internal,
- Memimpin upacara adat dan musyawarah kaum.
Tungku Tigo Sajarangan: Kepemimpinan di Tingkat Nagari
Jika dalam kaum kepemimpinan dipegang mamak dan penghulu, maka di tingkat nagari (wilayah adat setara desa), kepemimpinan bersifat kolektif. Terdapat tiga unsur utama yang dikenal sebagai Tungku Tigo Sajarangan, yaitu:
- Ninik Mamak – Pemuka adat yang memahami dan menegakkan aturan adat.
- Alim Ulama – Pemuka agama yang membimbing kehidupan keagamaan masyarakat.
- Cadiak Pandai – Intelektual atau tokoh masyarakat yang berperan dalam kebijakan sosial dan pendidikan.
Ketiga unsur ini duduk sejajar, tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain, melainkan saling melengkapi. Mereka bersama-sama menjadi penyangga kehidupan nagari agar seimbang antara adat, agama, dan akal sehat.
Musyawarah: Fondasi Etis dalam Kepemimpinan
Salah satu ciri khas paling menonjol dari pola kepemimpinan Minangkabau adalah musyawarah dan mufakat. Setiap keputusan penting, baik di tingkat keluarga, kaum, maupun nagari, harus diambil melalui diskusi kolektif.
Falsafah adat menegaskan:
“Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik”
(Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat)
Dengan demikian, masyarakat diajak terlibat aktif dalam menyuarakan pendapat, saling mendengar, dan mencari jalan tengah. Hal ini menciptakan sistem kepemimpinan yang inklusif, stabil, dan berorientasi pada konsensus.
Tantangan dan Relevansi di Era Modern
Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, sistem kepemimpinan Minangkabau menghadapi tantangan baru:
- Pergeseran nilai musyawarah oleh dominasi keputusan birokratis,
- Menurunnya peran mamak dan penghulu karena minimnya regenerasi adat,
- Kurangnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, meski sistemnya matrilineal.
Namun justru di tengah era penuh konflik dan polarisasi, kearifan lokal Minangkabau menunjukkan bahwa kekuasaan dapat dijalankan secara kolektif, etis, dan inklusif. Inilah relevansi abadi dari filosofi “Adat basandi syarak” dalam konteks kekinian.
Penutup
Kepemimpinan di Minangkabau bukan sekadar struktur sosial, melainkan warisan nilai dan spiritualitas. Ia dibangun atas dasar tanggung jawab, bukan kekuasaan; atas musyawarah, bukan perintah sepihak. Dengan menempatkan adat, agama, dan logika dalam satu keseimbangan, masyarakat Minangkabau berhasil menjaga harmoni sosial dan kelestarian budaya lintas generasi.
“Apakah kepemimpinan hari ini masih menjunjung musyawarah, atau telah larut dalam ego kekuasaan?”
Sebuah pertanyaan yang layak direnungkan, tak hanya di Minangkabau—tetapi juga di negeri ini.
Penulis adalah Ketua Patriot Desa Sumatera Barat.



















Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.