Setyo Haryono [DESA MERDEKA] – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 27 November 2024 mendatang merupakan momen penting dalam demokrasi yang memungkinkan masyarakat memilih pemimpin daerah mereka.
Namun, sering kali kita melihat adanya organisasi kemasyarakatan (ormas) berbasis agama yang terlibat aktif dalam mendukung salah satu calon. Ormas agama memanfaatkan jaringan dan anggotanya sebagai kekuatan mobilisasi untuk pemenangan kandidat tertentu.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap netralitas ormas yang seharusnya berperan sebagai lembaga yang tidak berpihak. Ketika ormas agama terlalu terlibat dalam politik praktis, muncul risiko terjadinya penyimpangan dari tujuan dasar ormas dan benturan kepentingan.
Sejarah konflik kepentingan di internal ormas yang diakibatkan oleh upaya kebersihan terhadap salah satu kontestan pemilu, baik pilkada maupun pilpres telah menyisakan peristiwa pilu di tengah masyarakat, tidak kecuali ormas yang berbasis agama.
Tulisan saya ini setidaknya memberikan satu konsep dasar demokrasi elektoral dalam skala lokal (pilkada) agar kita sebagai warga negara Indonesia yang sekaligus atau secara kebetulan menjadi bagian dari anggota atau pengurus ormas keagamaan bisa berpikir dan bertindak secara proposional dan professional. Sehingga mampu menjaga keutuhan jalinan persatu dalam bingkai NKRI.
B. Tujuan Dasar Ormas
Pada dasarnya, ormas agama dibentuk untuk mengayomi umat, memperkuat nilai-nilai keagamaan, serta membantu masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam hal sosial, pendidikan, maupun kemanusiaan. Mereka diharapkan menjadi panutan dan pengayom masyarakat, menjaga kerukunan, serta memperkokoh nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Ketika ormas agama terlalu terlibat dalam kontestasi politik, mereka berisiko mengalihkan fokus dari tujuan awalnya. Terlibatnya ormas agama dalam politik praktis dapat membuat ormas tersebut melenceng dari misi keagamaan yang seharusnya menjadi landasan utama.
C. Aturan Hukum Netralitas Ormas
Secara hukum, ormas sebenarnya diharapkan bersikap netral, terutama dalam hal politik praktis. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017) mengatur peran dan fungsi ormas, termasuk larangan bagi ormas untuk ikut campur dalam politik praktis. Ormas diharapkan tidak terlibat langsung dalam dukung-mendukung kandidat tertentu, terutama pada Pilkada.
Netralitas ini bertujuan untuk menjaga marwah ormas sebagai lembaga yang independen dan tidak berpihak, sehingga tidak menimbulkan konflik kepentingan.
D. Rawan Benturan Kepentingan
Keterlibatan ormas agama dalam mendukung salah satu kandidat Pilkada rawan menimbulkan benturan kepentingan. Misalnya, seorang pimpinan ormas yang memiliki afiliasi dengan salah satu calon berpotensi menggunakan posisi dan pengaruhnya untuk mengarahkan anggotanya memilih kandidat tertentu.
Hal ini akan menciptakan konflik kepentingan antara kepentingan pribadi pemimpin ormas dan kepentingan organisasi. Benturan kepentingan ini juga dapat mengakibatkan ormas tersebut kehilangan kepercayaan masyarakat yang merasa bahwa ormas tersebut tidak lagi independen.
E. Munculnya Konflik Internal
Keterlibatan dalam politik praktis juga berpotensi memicu konflik internal di dalam tubuh ormas. Ketika sebagian anggota mendukung calon tertentu dan sebagian lainnya mendukung calon lain, konflik kepentingan tidak dapat dihindari. Ketegangan semacam ini dapat menimbulkan perpecahan dan merusak solidaritas yang sebelumnya terjalin di antara anggota.
Selain itu, konflik internal dapat mengakibatkan anggota-anggota yang tidak setuju dengan keputusan pimpinan memilih untuk keluar dari ormas, sehingga melemahkan kekuatan dan soliditas organisasi.
F. Runtuhnya Marwah Ormas Agama
Akibat dari keterlibatan yang terlalu jauh dalam politik praktis, ormas agama berisiko kehilangan marwah atau kehormatan yang selama ini dibangun sebagai lembaga yang independen dan mengayomi. Ketika ormas agama dianggap berpihak kepada kandidat tertentu, ormas tersebut akan kehilangan kepercayaan dan wibawa di mata masyarakat.
Masyarakat akan meragukan integritas dan objektivitas ormas tersebut, terutama jika calon yang mereka dukung tidak terpilih atau dianggap tidak memenuhi harapan masyarakat. Kehilangan kepercayaan ini tidak hanya berpengaruh pada anggota, tetapi juga kepada masyarakat luas yang sebelumnya melihat ormas sebagai penuntun moral.
Kesimpulan
Netralitas ormas agama dalam Pilkada sangat penting untuk menjaga marwah, kepercayaan, dan soliditas organisasi. Ketika ormas agama terlalu terlibat dalam politik praktis, mereka berisiko menyimpang dari tujuan dasar organisasi, mengalami konflik internal, dan kehilangan kepercayaan masyarakat.
Keterlibatan dalam politik sebaiknya dihindari agar ormas agama tetap menjadi lembaga yang independen, dipercaya, dan dihormati, serta fokus pada tujuan utama untuk mengayomi masyarakat dan memperkuat nilai-nilai keagamaan di tengah masyarakat.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.