Bireuen [DESA MERDEKA] – Sebuah kisah pilu mencuat dari pedalaman Kabupaten Bireuen, Aceh, di mana masyarakat di kawasan Peusangan Siblah Krueng dan Peusangan Selatan merasa menjadi korban penipuan oleh praktik mafia tanah. Mereka diduga kuat telah kehilangan hak atas ribuan hektar hutan adat yang dipercayakan secara turun-temurun.
Gelombang dugaan perambahan dan penguasaan hutan adat ini disebut-sebut telah berlangsung sejak tahun 2016. Menurut penuturan tokoh adat dan warga setempat di Pante Karya, Peusangan Siblah Krueng, serta Pulo Harapan, Peusangan Selatan, awalnya warga dijanjikan imbalan lahan seluas dua hektar per orang jika bersedia ikut merambah hutan. Namun, janji manis tersebut tak kunjung terealisasi. Mereka justru hanya dijadikan buruh harian lepas dengan upah minim, berkisar antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribu per hari.
Pang Maides, seorang tokoh masyarakat sekaligus mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Bireuen, menjadi salah satu saksi mata kejadian ini. Ditemui di perbatasan antara Peusangan Selatan dan Peusangan Siblah Krueng, ia menceritakan pengalamannya ikut merambah hutan pada tahun 2017 atas ajakan perangkat desa. “Kami diajak untuk membuka lahan hutan dengan menebang pohon, dengan iming-iming akan dijadikan lahan perkebunan. Namun, setelah hutan berhasil dibersihkan, kami hanya menerima upah harian,” ungkapnya pada Selasa (13/5/2025).
Kekecewaan warga semakin memuncak ketika mereka mengetahui bahwa hutan adat yang telah susah payah mereka bersihkan justru diperjualbelikan oleh oknum mantan kepala desa (keuchik) dan perangkat desa kepada perusahaan perkebunan. “Kami benar-benar merasa tertipu. Ternyata, hutan adat yang kami bersihkan itu justru dijual kepada pihak lain untuk kepentingan pribadi,” lanjut Pang Maides dengan nada kecewa.
Menyikapi keluhan warganya, Keuchik Desa Pante Karya, Hasdairin, menjelaskan bahwa permasalahan hilangnya hutan adat seluas 5.000 hektar di Dusun Leubok Seutui, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, terjadi sebelum dirinya menjabat. “Ketika saya diangkat menjadi Keuchik, hutan adat maupun hutan lindung di wilayah tersebut sudah tidak ada lagi,” jelasnya.
Kini, harapan masyarakat tertumpu pada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bireuen. Anggota DPRK Bireuen dari Fraksi Partai Aceh, Samsul Admi, yang juga menjabat sebagai Ketua Fraksi, menyatakan komitmennya untuk memperjuangkan keluhan masyarakat ini. “Apabila ada masyarakat yang merasa dirugikan oleh oknum-oknum perambah hutan, silakan datang ke DPRK Bireuen agar permasalahan ini dapat kami tindak lanjuti,” tegas Samsul Admi. Perjuangan masyarakat pedalaman Bireuen untuk mendapatkan kembali hak atas tanah leluhur mereka kini berada di tangan para wakil rakyat.

Redaksi Desa Merdeka
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.