Tidak ada yang istimewa secara tampilan dari tim EXPEDESA De Java+. Mereka tidak datang dengan bendera, rompi, atau spanduk besar. Hanya satu mobil, beberapa ransel, kamera catatan lapangan, dan hati yang siap belajar. Tapi justru di situlah letak kekuatannya. Kecil itu indah. Diam-diam, mereka menjejak, mendengar, mencatat, dan menyerap.
Di saat sebagian besar program pembangunan dikelilingi sorotan, seremoni, dan laporan, EXPEDESA memilih jalan yang senyap. Sebuah ekspedisi kecil menelusuri titik-titik percontohan Koperasi Merah Putih di desa dan kelurahan di Pulau Jawa dan Madura. Bukan untuk pamer keberhasilan, melainkan untuk belajar dari yang sedang tumbuh, yang masih rapuh tapi memiliki daya hidup luar biasa.
Koperasi Merah Putih: Dari Tanah, Untuk Tanah
Koperasi Merah Putih adalah gagasan tentang koperasi yang membumi. Ia bukan sekadar koperasi “baru” secara legalitas, tapi koperasi yang merepresentasikan wajah baru ekonomi rakyat: mandiri, gotong royong, tapi juga adaptif terhadap zaman.
Sebanyak 37 koperasi percontohan tersebar di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, dan Madura. Lokasinya bukan di kota-kota besar, melainkan di desa-desa, kelurahan, dan wilayah pinggiran yang justru menjadi titik vital dari ekonomi lokal.
Apa yang dilakukan koperasi-koperasi ini? Mulai dari pengelolaan warung komunitas, jasa keuangan mikro, pemasaran hasil pertanian, usaha dagang kolektif, hingga edukasi digital dan pelatihan kewirausahaan. Tapi lebih dari itu, koperasi ini menjadi ruang belajar bersama warga, tempat kepercayaan dan kolaborasi dibangun sedikit demi sedikit.
Perjalanan Biasa yang Menghasilkan Pelajaran Luar Biasa
EXPEDESA De Java+ tidak dirancang untuk menjadi tur studi. Tidak ada hotel mewah, tidak ada sambutan protokoler. Yang ada adalah kedatangan yang tulus, kunjungan yang tenang, dan pertemuan hangat dengan pengurus koperasi, warga, dan perangkat desa.
Rutenya sederhana, tapi penuh makna. Beberapa desa yang dikunjungi antara lain:
- Bengkal, Temanggung (Jateng): koperasi yang menghubungkan petani dengan pasar secara kolektif dan transparan.
- Srimulyo, Bantul (DIY): koperasi yang menjadi bagian dari sistem sosial warga, dengan nilai budaya sebagai fondasi.
- Ngadirejo, Tuban (Jatim): koperasi yang perlahan belajar menggunakan digital tools untuk pengelolaan keanggotaan.
- Pandian, Sumenep (Madura): koperasi di wilayah kepulauan yang berjalan dengan semangat kebersamaan di tengah tantangan logistik.
Di tempat-tempat ini, tim EXPEDESA tidak hanya melihat dokumen atau mendengar presentasi, tetapi masuk ke kehidupan sehari-hari koperasi: bagaimana mereka mencatat keuangan, menyelesaikan masalah, menjalankan rapat, dan berhubungan dengan warga.
♀️ Bertemu Orang-Orang Biasa yang Melakukan Hal-Hal Luar Biasa
Pelajaran terpenting dari EXPEDESA bukan datang dari data, tapi dari wajah dan cerita orang-orang yang ditemui. Seorang ibu pengurus koperasi di Srimulyo bercerita bagaimana ia awalnya takut pegang kas karena takut salah. Seorang pemuda di Tuban menyampaikan keinginannya agar koperasi punya sistem pembayaran digital, karena teman-temannya malas datang rapat kalau tidak praktis.
Seorang kepala dusun di Sumenep menyampaikan bahwa koperasi di desanya bukan lembaga bisnis, tapi “wadah untuk saling menguatkan” ketika panen gagal atau harga turun.
Cerita-cerita ini membuat kita sadar bahwa koperasi desa bukan lembaga ekonomi semata, tapi tulang punggung harapan sosial. Dan bahwa perubahan itu dimulai dari orang biasa yang mau mencoba hal baru.
Koperasi Sebagai Ruang Sosial, Bukan Hanya Tempat Transaksi
Banyak orang mengira koperasi itu hanya tempat simpan pinjam. Tapi di desa-desa yang dikunjungi, koperasi adalah ruang di mana:
- Warga belajar membuat keputusan bersama.
- Anggota belajar mencatat, menghitung, dan mengevaluasi.
- Perempuan belajar berbicara di forum terbuka.
- Pemuda belajar mengelola usaha dan kepercayaan.
Koperasi di desa dan kelurahan bukan sekadar urusan ekonomi. Ia adalah simulasi demokrasi lokal, ruang tumbuhnya etika kolektif, dan tempat mengasah tanggung jawab sosial. Dan ini semua dilakukan dengan alat yang sangat sederhana: rapat rutin, catatan manual, dan komunikasi antaranggota.
Mengapa Hanya Satu Tim? Karena Kecil Itu Indah
EXPEDESA tidak datang beramai-ramai. Satu tim kecil saja sudah cukup. Satu mobil, satu rute, satu tujuan: belajar dengan sungguh-sungguh dari bawah. Tidak perlu keramaian untuk menyerap pelajaran penting. Justru dalam keheningan, pelajaran lebih terasa masuk.
Dengan satu tim, relasi dengan warga lebih akrab, diskusi lebih jujur, dan kunjungan menjadi lebih bermakna. Mereka tidak datang sebagai “tamu besar”, tapi sebagai sahabat belajar. Ini juga cara memperlihatkan bahwa gerakan pendampingan atau penguatan koperasi bisa dilakukan dengan sederhana, murah, dan manusiawi.
Dari Lapangan ke Aksi: Menyusun Ulang Cara Pandang
EXPEDESA De Java+ bukan sekadar dokumentasi lapangan. Dari setiap kunjungan, tim membawa pulang refleksi: bagaimana sebaiknya mendampingi koperasi? Bagaimana membuat pelatihan yang kontekstual? Bagaimana mendorong partisipasi tanpa paksaan?
Koperasi Merah Putih yang dikunjungi tidak semuanya berhasil. Tapi justru dari kegamangan dan keterbatasan mereka, pelajaran tumbuh: bahwa proses jauh lebih penting daripada hasil sementara, dan bahwa koperasi yang hidup adalah koperasi yang terus belajar.
✊ Kembali ke Akar, Bergerak ke Depan
Koperasi desa bukan barang usang. Ia bukan warisan masa lalu yang ketinggalan zaman. Ia justru bisa menjadi jalan masa depan untuk membangun ekonomi yang adil, solidaritas yang nyata, dan demokrasi yang tumbuh dari bawah.
EXPEDESA De Java+ bukan program besar. Tapi ia mengingatkan kita, bahwa untuk membangun gerakan, kita tidak perlu menunggu proyek besar. Kita cukup memulai dengan langkah kecil, niat baik, dan semangat untuk mendengarkan.
Dari perjalanan sunyi ini, satu pelajaran besar didapat: koperasi adalah tentang keberanian untuk percaya pada kekuatan bersama. Dan untuk belajar itu, satu tim kecil saja cukup—asal niatnya tulus dan langkahnya konsisten.
Karena kecil itu indah. Dan dari yang kecil, hal-hal besar bisa tumbuh.

Jurnalis dan Pegiat Pemberdayaan Masyarakat Peduli Desa. Saat ini adalah Ketua Komunitas Desa Indonesia dan Koordinator Mobile Journalist Desa



















Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.