Menu

Mode Gelap
Dari Hoaks ke Harapan: Catatan Dua Hari Bimtek Literasi Informasi di Pekalongan PPID Desa Jadi Kunci Transparansi di Lombok Tengah Sumatera Barat Siap Jadi Green Province 2026, Targetkan Investasi Hijau Rp120 Triliun Peternakan Ayam Diduga Tanpa Izin Resahkan Warga Bekasi Mengubah Citra Petani, Memajukan Ekonomi Sumbar

OPINI · 24 Sep 2025 23:55 WIB ·

Sekali agenda Dua Perusakan Dilakukan Menko Pangan, Inilah Bahaya Budaya ABS


					Sekali agenda Dua Perusakan Dilakukan Menko Pangan, Inilah Bahaya Budaya ABS Perbesar

Presiden Prabowo Subianto sejak awal pemerintahannya menegaskan bahwa pembangunan Indonesia harus dimulai dari bawah, dari desa. Visi ini jelas: desa adalah pondasi bangsa. Di situlah hidup lebih dari 75.625 desa yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional.

Karena itu, gagasan Koperasi Desa Merah Putih yang digagas pemerintah bukan ide sembarangan. Ia adalah strategi besar untuk menjadikan desa sebagai motor kemandirian, solidaritas, dan kekuatan rakyat. Namun niat baik ini justru terancam ternodai. Bukan oleh rakyat desa, melainkan oleh gaya kerja birokrasi pusat yang masih terjebak budaya lama: ABS—Asal Bapak Senang.

 

Musyawarah Desa Khusus Serentak

Yang bikin gaduh adalah munculnya Pelaksanaan Musyawarah Desa Khusus secara serentak. Undangan resmi beredar luas, ditandatangani oleh Ir. Hadi Kasan, M.M., Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Pangan Republik Indonesia.

Dalam undangan itu, bupati diminta menghadiri dan menyukseskan Musdes Khusus. Agenda ini diarahkan untuk mempercepat pembentukan Koperasi Desa Merah Putih. Sekilas, langkah ini tampak progresif. Tetapi bila diteliti, inisiatif ini justru bertentangan langsung dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

UU Desa dengan tegas menyatakan bahwa Musyawarah Desa (Musdes) adalah forum permusyawaratan yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD), diikuti oleh pemerintah desa, lembaga kemasyarakatan, tokoh masyarakat, dan unsur warga. Kementerian tidak punya kewenangan mengundang Musdes. Apalagi membuatnya serentak secara nasional.

Saat undangan Musdes Khusus ditandatangani oleh seorang sekretaris kementerian, itu jelas bentuk intervensi berlebihan. Desa sedang direduksi dari subjek berdaulat menjadi objek proyek birokrasi.

 

Dua Perusakan Sekaligus

Undangan Musyawarah Desa Khusus yang diteken pejabat Kemenko Pangan bukan hanya sekadar salah prosedur. Ia adalah bentuk perusakan ganda.

Pertama, ia mengabaikan hak-hak desa yang dijamin oleh UU. Desa tidak lagi ditempatkan sebagai pemilik musyawarah, melainkan sekadar pelaksana perintah dari atas. Demokrasi desa dipreteli, kedaulatan rakyat dilucuti.

Kedua, ia menghancurkan kepercayaan masyarakat pada Koperasi Merah Putih. Bagaimana mungkin rakyat percaya pada koperasi yang sejak awal dibentuk lewat mekanisme yang cacat hukum? Alih-alih menjadi instrumen kemandirian rakyat, koperasi justru bisa dicap sebagai proyek pemerintah pusat yang dipaksakan.

Dua perusakan inilah yang sangat berbahaya. Jika dibiarkan, bukan hanya desa yang terluka, tetapi juga agenda besar Presiden Prabowo akan kehilangan legitimasi di mata rakyat.

 

Cacat Hukum dan Maladministrasi

Apa akibatnya bila Musdes Khusus Serentak dipaksakan? Pertama, ia berpotensi cacat hukum. Keputusan yang lahir dari forum ilegal itu—termasuk pembentukan koperasi—tidak bisa dianggap sah.

Kedua, tindakan pejabat kementerian bisa dikategorikan sebagai maladministrasi, karena melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang. Tugas kementerian hanya membuat kebijakan, memberi pedoman, atau memfasilitasi. Bukan merampas fungsi demokrasi desa.

Jika pemerintah pusat mulai mencampuri urusan paling mendasar desa, maka UU Desa kehilangan maknanya. Padahal, UU Desa lahir sebagai koreksi atas sejarah panjang desa yang selama ini hanya jadi objek proyek pembangunan.

 

Desa Adalah Subjek, Bukan Objek

Konstitusi kita melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya. UU Desa melanjutkan amanat itu: desa punya kewenangan asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa.

Artinya, desa bukan sekadar kepanjangan birokrasi negara. Desa adalah subjek berdaulat yang punya ruang untuk mengatur rumah tangganya sendiri.

Musyawarah Desa adalah jantung demokrasi desa. Forum ini bukan formalitas seremonial, melainkan ruang rakyat bicara, berunding, dan menentukan arah kebijakan. Begitu fungsi Musdes direbut oleh kementerian, desa kehilangan martabatnya. Demokrasi desa mati, digantikan instruksi top-down dari pusat.

 

Ancaman Budaya ABS

Di sinilah bahaya nyata mengintai: budaya ABS (Asal Bapak Senang).

Presiden Prabowo punya niat baik membangun dari desa. Tapi niat baik itu bisa rusak bila dijalankan dengan pola lama birokrasi. Budaya ABS mendorong pejabat hanya fokus membuat laporan indah, mengejar angka, dan mengesankan bahwa program berjalan sesuai arahan presiden.

Padahal di lapangan, yang terjadi justru pelanggaran hukum. Demokrasi desa dipinggirkan, partisipasi rakyat dipasung, dan proses musyawarah dikerdilkan jadi seremoni. Desa tidak lagi menjadi pusat pemberdayaan, melainkan sekadar catatan administratif untuk memuaskan atasan.

Kalau ini dibiarkan, program sebesar Koperasi Desa Merah Putih hanya akan menjadi proyek ABS. Desa dipaksa mengikuti instruksi dari atas, tanpa ruang bagi rakyat untuk menentukan sendiri masa depan ekonominya.

 

Risiko yang Mengintai

Apa akibatnya jika Musdes Khusus Serentak ala Kemenko Pangan tetap dipaksakan?

  1. Legitimasi Lemah
    Keputusan yang lahir dari Musdes ilegal bisa digugat. Koperasi yang dibentuk pun rawan dipersoalkan keabsahannya.
  2. Partisipasi Semu
    Masyarakat hanya hadir sebagai pelengkap. Musyawarah kehilangan ruh deliberatifnya, berubah jadi instruksi satu arah.
  3. Konflik Sosial
    Koperasi yang lahir dari proses tidak sah berpotensi menimbulkan perpecahan di desa. Sebagian warga merasa dipaksa, sebagian lain menolak, dan konflik horizontal pun bisa pecah.
  4. Rusaknya Kepercayaan
    Warga desa yang semula antusias bisa kehilangan kepercayaan pada pemerintah pusat. Mereka merasa program desa hanya topeng untuk pencitraan birokrasi.

 

Presiden Harus Bertindak

Dalam situasi ini, bola ada di tangan Presiden Prabowo Subianto. Sebagai kepala pemerintahan, ia wajib menjaga agar niat baik membangun dari desa tidak rusak oleh ulah menterinya sendiri.

Presiden harus segera:

  1. Membatalkan agenda Musdes Khusus Serentak yang diundang langsung oleh Kemenko Pangan.
  2. Mengembalikan kewenangan Musdes kepada BPD, sesuai amanat UU Desa.
  3. Menegur para menteri dan pejabat agar bekerja berdasarkan hukum, bukan sekadar mengejar laporan ABS.
  4. Menegaskan kembali desa sebagai subjek pembangunan, bukan obyek proyek birokrasi.

Langkah ini penting bukan hanya untuk melindungi desa, tetapi juga menjaga reputasi presiden sendiri. Jangan sampai visi besar Prabowo tentang pembangunan dari desa runtuh hanya karena ulah menteri ABS.

 

Menjaga Ruh Demokrasi Desa

Desa adalah ruang hidup jutaan rakyat. Di situlah demokrasi paling murni masih bertahan: melalui musyawarah. Ketika Musdes dipreteli, sejatinya kita sedang mematikan denyut demokrasi itu.

Presiden Prabowo harus ingat: rakyat desa adalah basis utama kekuatan bangsa. Mereka tidak butuh proyek ABS. Mereka butuh ruang untuk bermusyawarah, menentukan masa depan, dan bersama-sama membangun koperasi sebagai instrumen kemandirian.

Jika Musdes diambil alih oleh kementerian, maka pesan yang sampai ke desa jelas: pemerintah pusat tidak percaya pada rakyat desa. Padahal, justru dari kepercayaan itulah demokrasi lokal bisa tumbuh dan koperasi desa bisa kokoh.

 

Penutup

Niat baik Presiden Prabowo Subianto membangun Indonesia dari desa adalah langkah bersejarah. Tetapi niat baik itu bisa ternodai bila pelaksanaan di lapangan dikotori oleh budaya lama: ABS, Asal Bapak Senang.

Kemenko Pangan sudah menunjukkan gejala itu, dengan menginisiasi Pelaksanaan Musyawarah Desa Khusus Serentak melalui undangan resmi yang ditandatangani oleh Ir. Hadi Kasan, M.M., Sekretaris Kemenko Pangan RI. Padahal jelas, Musdes adalah ranah BPD, bukan kementerian.

Dengan undangan itu, sesungguhnya ada dua perusakan serius:

  1. Mengabaikan hak-hak desa yang dijamin UU.
  2. Menghancurkan kepercayaan masyarakat pada Koperasi Merah Putih.

Kalau tidak segera dibatalkan, hal ini akan merusak legitimasi koperasi desa, mencederai demokrasi akar rumput, dan memicu konflik sosial.

Presiden Prabowo harus tegas. Desa bukan objek proyek kementerian, melainkan subjek pembangunan. Musyawarah Desa bukan panggung seremonial, melainkan ruang rakyat menentukan nasibnya sendiri.

Hanya dengan menjaga kemurnian Musdes, koperasi desa benar-benar bisa lahir dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan begitu, cita-cita Prabowo membangun Indonesia dari bawah tidak akan ternodai, melainkan terwujud dengan bermartabat.

 

Follow WhatsApp Channel Desamerdeka.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow
Artikel ini telah dibaca 186 kali

Tinggalkan Balasan

Baca Lainnya

BUDINA: Kunci Disiplin Aparatur, Benteng Integritas Nagari

23 Oktober 2025 - 16:23 WIB

IORA di Padang: Sepuluh Tahun Menjaga Harmoni Budaya dan Maritim Samudra Hindia

21 Oktober 2025 - 16:48 WIB

Pedagang Butuh Ruang, Bukan Sekadar Tempat

19 Oktober 2025 - 19:02 WIB

Pasar Raya Padang dan Alarm Bahaya Umur Bangunan Tua

14 Oktober 2025 - 20:58 WIB

Kata “Perampok” Antara Fitnah dan Pembunuhan Karakter

3 Oktober 2025 - 10:31 WIB

Hari Tani dan Janji yang Belum Tuntas: Negara Harus Hadir Memuliakan Petani

24 September 2025 - 11:47 WIB

Trending di OPINI