[DESA MERDEKA] – Pendamping Desa saat ini tengah fokus mengawal berbagai program penting, termasuk program ketahanan pangan yang mendukung swasembada pangan melalui penyertaan modal BUMDes. Selain itu, pada awal minggu ini, muncul program Koperasi Desa Merah Putih yang rencananya juga akan menggunakan Dana Desa. Hal ini mengharuskan pendamping desa untuk berperan aktif dalam memastikan program-program tersebut berjalan dengan baik di tingkat desa.
Namun, seiring dengan program-program tersebut, muncul polemik dan perdebatan terkait penghentian pendamping desa yang diambil oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal. Sebagaimana dikutip dari Tribunnews.com, beberapa legislator menyampaikan bahwa Mendes memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja pendamping desa, dengan harapan evaluasi tersebut dilakukan berdasarkan hasil kinerja yang objektif dan tidak bersifat sepihak.
Selain polemik tersebut, terdapat pula beberapa isu persoalan terkait dengan keberlanjutan program pendampingan. Salah satunya adalah terkait honorarium pendamping desa yang kabarnya hanya cukup untuk membayar gaji selama 10 bulan, yang menimbulkan kekhawatiran terkait stabilitas pendamping dalam menjalankan tugasnya. Isu lain yang juga menarik perhatian adalah mengenai proses rekrutmen pendamping desa. Bahkan terkait isu terakhir ini sudah mulai beredar diawal kepemimpinan Presiden Prabowo.
Belum lagi ketidakjelasan isu terkait dengan sertifikasi pendamping desa. Dari beberapa pendamping desa yang kami temui, menyampaikan bahwa beredar kabar bahwa pendamping desa yang tidak bersertifikasi akan dicoret dari tugas mereka. Hal ini memunculkan kekhawatiran terkait standar sertifikasi yang diterapkan serta dampaknya terhadap keberlanjutan tugas pendamping desa yang sudah terlatih namun belum memiliki sertifikat. Biaya sertifikasi yang cukup mahal, jika dibandingkan dengan honor yang diterima, menjadi tantangan tersendiri bagi pendamping desa. Selain itu, pendamping desa yang sudah memiliki sertifikat, selama ini juga tidak mendapatkan dampak yang cukup signifikan, misalnya tambahan penghasilan ataupun yang lainnya, seperti halnya sertifikasi yang diberikan kepada guru.
Tak kalah pentingnya, banyak pendamping desa yang juga mengeluhkan nihilnya realisasi janji dari Menteri Desa sebelumnya yang pernah berjanji untuk mengalihkan status pendamping desa menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), seperti halnya Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) saat ini. Janji ini hingga kini belum terealisasi, yang menambah ketidakpastian bagi banyak pendamping desa yang sudah mengabdikan diri dalam pengembangan desa.
Karena honorarium pendamping desa berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), diharapkan pendamping desa dapat bekerja secara profesional, menjaga independensi, dan tidak terlibat dalam politik praktis. Hal ini penting agar tugas pendamping desa tetap fokus pada pengembangan dan pemberdayaan masyarakat desa tanpa adanya gangguan dari kepentingan politik tertentu.
Sejalan dengan itu, kualitas pendampingan yang dilakukan oleh pendamping desa menjadi hal yang penting dalam mendukung program-program pembangunan yang ada di desa, seperti ketahanan pangan dan pengelolaan Dana Desa. Oleh karena itu, evaluasi terhadap kinerja pendamping desa diharapkan dapat dilakukan dengan adil dan transparan, sehingga keberlanjutan program pembangunan dapat terjaga.
Pendamping Desa, yang langsung terlibat di lapangan, berperan besar dalam keberhasilan program-program desa. Maka dari itu, evaluasi yang dilakukan harus mencerminkan realitas dan hasil kerja di lapangan, agar peran mereka dalam pembangunan desa tetap optimal dan memberikan dampak yang positif bagi masyarakat.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.