Lebak (DESA MERDEKA) – ‘’Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu.” Perasaan berkecamuk dan gamang pun datang, antara melakukan perintah dan takut kehilangan sang putra tercinta. Di sinilah keimanan Nabi Ibrahim teruji dan disambut dengan ketaatan Ismail AS. ‘’Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah tengkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’’ Potret perintah Allah SWT ini, dapat kita temui ketika berselancar dalam Al-Quran Surat Ash-Shaffat ayat 102-105. Dalam dialog antara Bapak-Anak tersebut sungguh tercitrakan sebuah kesalehan individual dari keduanya.
Banyak pelajaran yang hendak Allah sampaikan kepada umat manusia dalam peristiwa penyembelihan Ismail ini, bahwa sesunggunya ketakwaan dan ketaatan serta kepasrahan Nabi Ibrahim pasti akan diuji, di sisi lain lain, kesabaran dan kesalehan Ismail juga akan mendapatkan kabar gembira. Apa kabar gembira terhadap keduanya? Digantinya Nabi Ismail dengan seekor sembelihan yang besar (QS. Ash-Ash-Shaffat: 107). Berlaku rumus yakni bahwa Allah tidak akan mengingkari janji-Nya (QS. Ali Imron: 9). Janji Allah SWT tentang kabar gembira setelah ujian, cobaan, dan musibah yang menimpa manusia termasuk kepada sang Kholilullah tersebut.
Ketika Allah cinta dan sayang kepada hamba-Nya, maka tak segan-segan Allah memberikan ujian, cobaan, dan musibah. Kontras, jika manusia cinta dan sayang kepada manusia lain, maka pujian, sanjungan, dan tepuk tangan akan deras mengalir. Cobaan Allah kepada hamba-Nya, terdapat misalnya pada Surat Al-Baqarah Ayat 155, di mana Allah akan mencoba dan menguji dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Tetapi, pasti disertai bonus kabar gembira dari Allah SWT setelahnya. Itupun jika kita percaya.
Manusia sekelas nabi pun tidak luput dari ujian. Adalah Nabi Ibrahim Alaihissallam, siang malam selama ratusan tahun berdoa kepada Allah agar dikaruniai seorang anak saleh. Pada akhirnya, doa pun dikabulkan dengan terlahirnya Ismail. Beliau tumbuh begitu cerdas, saleh dan penuh keakraban dengan ayahanda serta ibunda, Siti Hajar. Hingga ujian ekstrim itu pun diterima untuk menyembelih putra kesayangannya yaitu Ismail.
MANIFESTASI KURBAN
Pengurbanan Nabi Ibrahim atas putranya yang kemudian digantikan oleh Allah SWT dengan seekor domba besar diabadikan dan dilanjutkan oleh syariat Nabi Muhammad SAW pada abad ke-2 Hijriyah di mana pada abad tersebut juga disyariatkan sholat Idul Fitri dan Idul Adha serta Zakat Mal/benda (Kitab Majmuk Syarah Muhadzab, Imam Nawawi 7:383).
Kendati berkurban dihukumi sunnah muakkad (tindakan yang sangat dianjurkan untuk dilakukan karena ada pahala di dalamnya) oleh mayoritas ulama termasuk madzhab Syafii, namun hikmah yang terkandung dalam menjalankan kurban sangatlah luas dan dahsyat. Bahkan Imam Muhammad bin Abdurrahman Al-Bukhori seperti dikutip dalam kitab Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah menjelaskan bahwa hikmah disyariatkannya kurban adalah mensyukuri atas nikmat hidup, menghidupkan sunah Nabi Ibrahim, sang kekasih Allah ketika beliau mendapatkan perintah menyembelih putra kesayangannya, Ismail pada Hari Nahar. Menurutnya, hendaknya seorang mukmin juga mengedepankan kecintaan dan ketaatan kepada Allah mengalahkan kecintaan terhadap anak, hawa nafsu dan syahwat.
Dalam pandangan beliau dapat diperjelas bahwa kurban penyembelihan binatang akan sangat bermanfaat dagingnya untuk diberikan kepada orang-orang fakir dan juga bahwa Allah menciptakan binatang ternak sungguh bermanfaat bagi manusia seperti halnya dimakan dagingnya. Hal ini, sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 1, “wahai-orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji! Dihalalkan bagimu hewan ternak, kecuali yang akan disebutkan kepadamu (keharamannya) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sessungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.”
Hikmah berkurban juga lebih jauh dari itu, bahwa rasa cinta terhadap Allah harus kita maintain, dan istikamah. Bagaimana kita mencitai Allah? Mencintai Allah artinya mencintai agama Islam. Bagaimana cara mencintai agama Islam? Menjalankan apa yang disyariatkan Nabi Muhammad SAW.
Kecintaan terhadap anak-anak janganlah mengalahkan kecintaan terhadap Allah. Hal tersebut juga tertandas dalam Surat Ali Imran ayat 14. ‘’Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternah dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.’’
Menuruti hawa nafsu dan syahwat juga persoalan yang harus sebisa mungkin dikekang oleh seorang mukmin. Setiap manusia built in dengan nafsunya. Tugas manusia adalah mengendalikan nafsu-nafsu jahat—ammarah bissu’ dan lawwamah—menjadi nafsu mutmainnah, mardhiyyah dan kamilah. Bukankah perang yang maha dahsyat adalah perang melawan hawa nafsu? Seperti disabdakan Rasulullah SAW kepada para sahabat setelah kemenangan besar atas perang Badar yang heroik dan dahsyat itu?
Mereka yang berkurban, baik unta, sapi/kerbau ataupun kambing adalah pahlawan bagi kaum fakir-miskin. Mengonsumsi daging pilihan dengan protein kelas tinggi bagi orang miskin adalah kegembiraan dan rasa syukur yang luar biasa. Ada kepekaan dan empati komunal yang ditunjukan oleh mereka yang berkurban terhadap kaum papa. Bagi kaum berpunya, daging mungkin bukanlah barang mewah karena bisa saja setiap hari makan daging. Malahan, bagi kaum ini, daging adalah makanan yang terkadang dihindari karena mereka terganggu dengan berbagai penyakit yang disebabkan mengonsumsi daging. Jika bukan karena kepatuhan terhadap perintah Allah dan empati terhadap kaum papa, makalah sulit bagi mereka untuk berkurban. Tidak terbayangkan jika 10 persen dari masyarakat muslim di Indonesia melakukan kurban, maka ‘swasembada’ daging akan tercipta. Kebutuhan akan daging di masyarakat miskin akan terpenuhi. Maka, ada baiknya ke depan gerakan berkurban seyogyanya diinisiasi dan dibudayakan.
Berkurban adalah menyembelih dan mengalirkan darah hewan ternak. Secara makna filosofis, menyembelih hawa nafsu dan syahwat yang membahayakan baik bagi diri sendiri, ataupun bagi orang lain. Bayangkan jika nafsu serakah seseorang yang tidak terkontrol, jika dia seorang pejabat publik, maka dia akan menyalahgunakan wewenang yang mestinya digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Jadi, tidaklah salah bila dikatakan Hari Raya Kurban, kita sembelih hawa nafsu dan syahwat kita. Tentunya, setelah menyembelih kambing, atau pun sapi/kerbau (meskipun dengan diawaki tujuh orang).
Berkurban sejatinya adalah sebuah tahapan untuk berkorban. Jika jiwa berkurban kita sudah terpatri, maka kita akan terbiasa manakala terdapat panggilan berkorban untuk agama Allah. Jihad fi sabilillah- Jihad di jalan Allah dengan arti luas. Seperti firman Allah dalam Surat At-Taubat ayat 41. ‘’Wajaahiduu Biamwaalikum Waanfusikum Fii Sabiilillaah.’’ (Dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah). Bukan hanya harta tetapi nyawa juga diberikan untuk membela agama bahkan nusa dan bangsa demi menjalankan perintah dari Allah SWT. Walhasil, berkurban adalah refleksi ketakwaan yang membiaskan bukan hanya kesalehan individual tetapi juga kesalehan sosial.
Wallahu ‘Alamu Bishawaab.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.