Menggugat Pemecatan Sewenang-Wenang dan Jalan Perlawanan
Di banyak desa, cerita tentang perangkat desa yang tiba-tiba dipecat oleh kepala desa bukan hal baru. Ada yang dicopot karena dianggap “tidak loyal,” ada yang ditendang karena beda pilihan politik saat pilkades, ada juga yang hanya jadi korban konflik pribadi.
Bagi perangkat desa, pemecatan itu bukan sekadar kehilangan jabatan. Ini soal harga diri, keadilan, dan masa depan keluarga. Ironisnya, hukum yang seharusnya melindungi justru sering tak berdaya.
Ketika Kepala Desa Merasa Jadi Raja
Secara aturan, perangkat desa tidak bisa diberhentikan sembarangan. Ada prosedur yang jelas, mulai dari rekomendasi camat hingga persetujuan bupati. Tapi praktik di lapangan sering lain cerita.
Kepala desa merasa dirinya “raja kecil.” Ia merasa punya hak penuh atas siapa yang boleh duduk di kursi perangkat desa. Perangkat yang dianggap tak sejalan bisa ditekan, dipinggirkan, lalu diberhentikan dengan alasan yang dibuat-buat.
Padahal, perangkat desa bukan bawahan pribadi kades. Kita adalah penyelenggara pemerintahan desa yang bekerja untuk warga, bukan untuk melayani kepentingan politik kepala desa.
Menang di Atas Kertas, Kalah di Lapangan
Banyak perangkat desa memilih melawan lewat jalur hukum. Kasus dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Hasilnya?
- PTUN bisa menyatakan pemecatan tidak sah.
- Tapi putusan PTUN hanya bersifat administratif, tidak otomatis mengembalikan jabatan.
- Lebih parah lagi, banyak bupati atau kepala desa tidak melaksanakan putusan pengadilan.
Akhirnya, perangkat desa “menang di atas kertas, tapi kalah di lapangan.” Nasib tetap tidak berubah, meski secara hukum jelas berada di pihak yang benar.
Politik di Balik Pemecatan
Mari jujur: pemecatan perangkat desa jarang murni soal kinerja. Lebih sering soal politik dan kepentingan pribadi.
- Perangkat dianggap warisan kades lama, sehingga harus disingkirkan.
- Perangkat yang tidak mendukung saat pilkades dianggap musuh.
- Perangkat yang kritis dianggap ancaman, bukan mitra kerja.
Inilah kenyataan pahit. Perangkat desa dipaksa tunduk pada logika politik, padahal kerja kita adalah melayani masyarakat, bukan melayani politik.
Hukum yang Lemah, Perlindungan yang Rapuh
Kholil, seorang praktisi hukum desa, menyebut masalah utama perangkat desa ada pada status hukum.
Kita ini pejabat pemerintahan, tapi tidak punya perlindungan sekuat ASN. Akibatnya:
- Putusan pengadilan sering tidak dijalankan.
- Mekanisme sanksi administratif untuk pejabat yang melanggar jarang digunakan.
- Perangkat desa yang memperjuangkan haknya malah sering makin terpojok.
Kita bekerja dengan aturan yang jelas, tapi ketika terjadi konflik, aturan itu seolah tidak ada.
Senjata Baru: Media Sosial
Kalau jalur hukum buntu, masih ada jalan lain: opini publik.
Dulu, perjuangan perangkat desa hanya lewat spanduk, surat, atau demonstrasi. Sekarang ada media sosial. Dengan satu hashtag, cerita perangkat desa bisa viral, masuk berita nasional, bahkan memaksa pejabat duduk di meja mediasi.
Itong, salah satu aktivis, mengingatkan: media sosial bisa mengubah nasib perangkat desa. Dari isu lokal yang sunyi, menjadi isu nasional yang ramai diperbincangkan.
Bersatu atau Terus Jadi Korban?
Pertanyaan besarnya: maukah perangkat desa bersatu?
Kalau satu perangkat desa melawan sendirian, berat sekali. Kepala desa punya kuasa, bupati bisa menutup mata, pengadilan tak bisa berbuat banyak. Tapi kalau ribuan perangkat desa bersuara bersama, ceritanya akan lain.
Asosiasi perangkat desa harus jadi benteng. Bukan hanya kumpul-kumpul seremonial, tapi benar-benar menyediakan advokasi hukum, jaringan media, dan solidaritas nyata.
Bayangkan: ada lebih dari 150 ribu perangkat desa di seluruh Indonesia. Kalau semua bersatu, siapa yang bisa meremehkan?
Dari Korban ke Kekuatan
Perangkat desa tidak boleh terus-menerus jadi korban politik kepala desa. Kita harus mengubah diri menjadi kekuatan:
- Kekuatan hukum: berani menggugat, meski tahu jalannya panjang.
- Kekuatan sosial: menggalang dukungan masyarakat.
- Kekuatan media: membuat suara kita terdengar hingga pusat.
- Kekuatan organisasi: bersatu dalam visi yang sama.
Kita bukan kacung kepala desa. Kita adalah pilar pemerintahan. Kita yang memastikan desa berjalan, administrasi tertata, dan layanan masyarakat tersedia.
Perangkat Desa Bukan Boneka
Saudara-saudara, pemecatan perangkat desa oleh kepala desa adalah luka lama yang terus berulang. Tapi kita tidak boleh menyerah.
Perangkat desa harus sadar posisi: kita adalah wajah negara di desa. Kita harus dilindungi, dihargai, dan diperlakukan adil.
Saatnya kita bersuara lantang: perangkat desa bukan boneka politik, bukan kacung, bukan warisan yang bisa dibuang seenaknya.
Kita adalah mitra kepala desa, pelayan masyarakat, dan penjaga martabat pemerintahan desa.
Kalau kita bersatu, tidak ada lagi kepala desa yang bisa bertindak semaunya. Yang ada hanyalah perangkat desa yang kuat, bermartabat, dan berdaulat di rumahnya sendiri: desa.

Jurnalis dan Pegiat Pemberdayaan Masyarakat Peduli Desa. Saat ini adalah Ketua Komunitas Desa Indonesia dan Koordinator Mobile Journalist Desa



















Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.