Oleh: Setiyo Haryono
Desa Merdeka – (Redaksional):
Semarak Pilkada serentak kian menunjukkan dinamikanya, mulai dari proses penyiapan regulasi hingga kesiapan masing-masing kubu yang sedang mengikuti pesta demokrasi. Pelbagai upaya dilakukan untuk meraih simpati menuju kemenangan. Persaingan sesama kontestan makin sengit, ketika mereka saling unjuk kekuatan modal ( uang) sebagai amunisi utama pilkada.
Seperti biasa, dan semacam sudah menjadi budaya pesta demokrasi di Indonesia, bahwa membeli suara adalah jurus pamungkas para kontestan menjelang batas akhir tahapan pilkada (injury time). Hal ini sangat sering kita dapati dengan kasar mata.
Normalisasi Pelanggaran Etika
Praktik transaksi suara bukan lagi hal tabu, dan saking seringnya peristiwa jual beli suara dalam pemilu kemudian lahir kultur baru “Normalisasi Politics Transaksi”. Tentunya ini bahaya sekali bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terutama pada dampak yang akan ditimbulkan di kemudian hari
Money politics atau politik uang adalah praktik di mana uang, barang, atau janji-janji materi digunakan oleh individu atau kelompok untuk mempengaruhi proses politik, seperti pemilihan umum, pembuatan kebijakan, atau perizinan. Di banyak negara, terutama di sistem politik yang lemah atau korup, praktik ini sudah menjadi hal yang lumrah. Di Indonesia, politik uang kerap muncul dalam kontestasi politik, baik pada pemilihan legislatif, eksekutif, hingga pemilihan kepala daerah. Namun, implikasi dari praktik ini sangat serius, terutama terkait dengan peningkatan laku korupsi pejabat publik.
Money Politics dalam Proses Pemilihan
Dalam konteks pemilu, money politics sering digunakan untuk mendapatkan dukungan suara secara instan. Calon pejabat yang terlibat dalam politik uang mungkin merasa perlu untuk mengeluarkan dana besar untuk mengamankan kursi jabatan, baik melalui pembagian uang tunai, barang, atau janji proyek pembangunan tertentu. Pemilih yang diuntungkan oleh iming-iming ini cenderung lebih memilih berdasarkan manfaat langsung daripada mempertimbangkan integritas atau kapasitas calon tersebut.
Namun, politik uang bukan hanya soal calon yang menggunakan uang untuk mempengaruhi pemilih. Ada juga aktor-aktor lain yang bermain, termasuk pengusaha, kelompok kepentingan, dan elite politik yang mendanai kampanye kandidat tertentu dengan harapan mendapatkan keuntungan setelah kandidat tersebut terpilih.
Dampak Terhadap Laku Korupsi Pejabat
Money politics berhubungan erat dengan laku korupsi setelah seorang pejabat terpilih. Ada beberapa alasan utama mengapa praktik politik uang meningkatkan kemungkinan terjadinya korupsi:
- Pembalikan Modal Kampanye: Setelah terpilih, pejabat yang menggunakan money politics cenderung merasa terikat untuk “mengembalikan modal” yang telah dikeluarkan selama kampanye. Hal ini bisa mendorong mereka untuk melakukan tindakan koruptif seperti suap, penggelapan anggaran, atau penyalahgunaan wewenang. Mereka merasa bahwa jabatan yang didapatkan bukan hasil dari kepercayaan rakyat, melainkan investasi pribadi yang harus dikembalikan.
- Ketergantungan Pada Pemodal Besar: Pejabat yang dibiayai oleh pemodal besar sering kali terikat dengan kepentingan mereka. Para pemodal ini tidak memberikan dukungan secara gratis, melainkan mengharapkan balasan dalam bentuk kontrak pemerintah, perizinan usaha, atau akses khusus ke sumber daya publik. Hal ini menyebabkan konflik kepentingan dan membuat pejabat terjebak dalam jaringan korupsi.
- Kompromi Integritas: Pejabat yang terlibat dalam politik uang umumnya sudah menunjukkan bahwa mereka bersedia mengkompromikan prinsip-prinsip etika sejak awal. Hal ini membuka jalan bagi tindakan-tindakan koruptif lebih lanjut. Keputusan-keputusan yang seharusnya didasarkan pada kepentingan publik sering kali diambil berdasarkan kepentingan pribadi atau kelompok yang mendukung finansialnya.
- Kultur dan Sistem yang Terus Berulang: Di beberapa negara, politik uang menjadi bagian dari sistem yang mengakar. Ini menciptakan lingkaran setan di mana setiap calon pejabat merasa perlu menggunakan uang untuk memenangkan jabatan, yang pada gilirannya meningkatkan peluang mereka untuk melakukan korupsi setelah terpilih. Lingkaran ini sulit diputus tanpa reformasi yang kuat terhadap sistem politik dan penegakan hukum.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Money politics dan korupsi yang dihasilkannya memiliki dampak luas terhadap masyarakat. Pertama, ini merusak kepercayaan publik terhadap institusi politik dan pemerintah. Ketika masyarakat melihat bahwa jabatan publik dijadikan alat untuk mencari keuntungan pribadi, mereka akan semakin apatis dan skeptis terhadap proses demokrasi.
Dari sisi ekonomi, korupsi yang dihasilkan dari politik uang memperburuk alokasi sumber daya publik. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, layanan publik, atau program sosial, sering kali disalahgunakan untuk memperkaya segelintir orang. Hal ini memperlambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan ketidaksetaraan, dan memperburuk kemiskinan.
Solusi Mengatasi Money Politics dan Korupsi
Mengatasi money politics dan korupsi membutuhkan reformasi yang komprehensif di berbagai sektor. Beberapa langkah yang bisa diambil adalah:
- Penegakan Hukum yang Tegas: Peraturan yang melarang politik uang sudah ada di banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, penegakannya masih lemah. Peningkatan pengawasan dan sanksi tegas bagi pelaku politik uang, baik calon maupun pemilih, sangat penting untuk mengurangi praktik ini.
- Transparansi Pendanaan Politik: Mendorong transparansi dalam pendanaan kampanye dan keuangan partai politik dapat membantu mengurangi ketergantungan calon pejabat pada pemodal besar. Sistem pelaporan yang jelas dan dapat diakses oleh publik bisa mencegah penggunaan uang ilegal dalam pemilu.
- Pendidikan Politik bagi Masyarakat: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memilih berdasarkan program dan integritas, bukan iming-iming materi, dapat membantu mengurangi permintaan terhadap politik uang. Pemilih yang lebih sadar akan hak dan tanggung jawab mereka cenderung lebih sulit dipengaruhi dengan janji-janji uang.
- Reformasi Sistem Pemilu: Memperbaiki sistem pemilu agar lebih adil dan terbuka dapat mengurangi insentif bagi calon pejabat untuk menggunakan politik uang. Sistem yang mendorong kompetisi sehat berdasarkan ide dan program akan lebih baik dalam menghasilkan pemimpin yang berkualitas.
Kesimpulan
Money politics bukan hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga memperburuk masalah korupsi di kalangan pejabat publik. Ketika pejabat terpilih melalui praktik politik uang, mereka cenderung terjebak dalam siklus korupsi yang melibatkan pengembalian modal kampanye dan keterikatan pada kepentingan pemodal.
Untuk memutus lingkaran setan ini, diperlukan langkah-langkah tegas mulai dari penegakan hukum yang lebih kuat, transparansi dalam pendanaan politik, hingga pendidikan politik bagi masyarakat. Dengan demikian, politik dapat menjadi lebih bersih dan berorientasi pada kepentingan publik.
————
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.