Opini [DESA MERDEKA] – Aceh saat ini berada pada fase strategis dalam membangun masa depan yang lebih damai, adil, dan sejahtera. Untuk menjawab tantangan itu, dua arah kebijakan penting muncul hampir bersamaan: pertama, dorongan Ketua TP-PKK Aceh, Ny. Marlina Muzakir, saat melakukan pertemuan dengan Dirjen Perumahan Pedesaan Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman RI, Dr. Drs. Imran, M.Si., MA.Cd, dalam rangka membahas percepatan pembangunan rumah bagi kaum dhuafa dan mantan kombatan GAM di Kantor KemenPKP-RI, Jakarta, Jumat, (11/4/2025); dan kedua, Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, melakukan pertemuan dengan Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur & Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), serta Menteri Transmigrasi, Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara dihari yang sama, guna membahas percepatan pembangunan infrastruktur dan penguatan program transmigrasi di Aceh. Gubernur Aceh menambahkan bahwa Aceh memiliki lahan seluas 19.370 hektare, namun baru 5.783 hektare yang telah dimanfaatkan.
“Pemerintah Aceh mendorong pemanfaatan lahan ini melalui program transmigrasi lokal sebagai upaya menurunkan angka kemiskinan dan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru,” jelasnya.
Kedua inisiatif ini sejatinya bukan jalan yang terpisah, justru akan membentuk solusi pembangunan yang komprehensif dan visioner: membangun kawasan Satuan Pemukiman Transmigrasi Lokal berbasis Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR-Translok).
Model PIR-Translok: Inklusif, Produktif, dan Tidak Membebani APBD
Dalam model ini, eks kombatan dan masyarakat yang memenuhi syarat dari daerah padat penduduk atau yang membutuhkan, ditempatkan di kawasan transmigrasi lokal yang dibuka secara terencana, dengan dukungan infrastruktur dasar, lahan pertanian atau perkebunan, serta fasilitas sosial.
Yang membedakan dari program biasa adalah hadirnya Perusahaan Inti sebagai mitra utama, yang menanggung biaya awal pembangunan usaha produktif (bibit, saprodi, teknologi, pendampingan), sekaligus menjamin pasar bagi hasil produksi warga. Pemerintah tidak harus banyak menguras APBD, melainkan cukup berperan dalam perencanaan, regulasi, pendampingan dan pengawasan mutu pembangunan kawasan.
Warga transmigran, sebagai plasma, tetap memiliki hak kelola atas lahan, rumah, dan hasil kebun. Mereka tidak dijadikan buruh, tetapi mitra usaha dalam ekosistem ekonomi desa berbasis perkebunan.
Dampak Ganda: Ekonomi dan Rekonsiliasi
Pola PIR-Translok bukan hanya menjawab persoalan ekonomi, melainkan juga mengobati luka sosial pascakonflik. Ia memiliki dampak ganda yang sangat dibutuhkan Aceh saat ini.
- Dampak Ekonomi
- Menyediakan lahan dan rumah permanen bagi warga miskin dan eks kombatan.
- Meningkatkan produktivitas melalui integrasi plasma-inti.
- Menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah terpencil.
- Mengurangi beban sosial di perkotaan melalui pengendalian urbanisasi.
- Memicu tumbuhnya UMKM dan koperasi desa berbasis hasil kebun dan olahan.
- Dampak Rekonsiliasi
- Memberikan pengakuan dan kepercayaan kepada eks kombatan untuk menjadi warga produktif.
- Menciptakan interaksi sosial baru yang setara dalam komunitas transmigran antar latar belakang.
- Menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap tanah yang diberikan negara.
- Mengembalikan martabat melalui kerja, bukan sekadar bantuan.
Pola ini menyentuh jantung dari perdamaian sejati: tidak hanya menghentikan konflik, tapi menciptakan ruang hidup yang adil dan bermakna bagi semua.
Penutup: Sebuah Harapan dan Tanggung Jawab Bersama
Sebagai Praktisi Pemberdayaan Masyarakat di Yayasan Lentera Bumi Aceh Hijau -LEBAH juga berprofesi sebagai Jabfung. Penggerak Swadaya Masyarakat pada Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh, saya menyampaikan kebanggaan dan harapan besar apabila opini ini dapat menjadi rujukan resmi Pemerintah Aceh dalam menyusun kebijakan pembangunan wilayah dan pemberdayaan masyarakat ke depan.
Model PIR-Translok adalah refleksi dari semangat kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat akar rumput.
Di dalamnya ada cita-cita pemerataan, rekonsiliasi, dan kemandirian.
Semoga ini menjadi langkah nyata menuju Aceh yang lebih kuat, mandiri, dan bermartabat.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.