Ende [DESA MERDEKA] – Di balik dingin dan sunyi perbukitan Ende, NTT, Desa Adat Ndikosapu menulis kisah inspiratif. Warganya, yang mayoritas bertani, kini berani menatap masa depan. Mereka bergerak maju melalui langkah kecil berlandaskan gotong royong.
Perubahan terasa sejak tiga tahun terakhir. Kolaborasi apik antara warga, pemerintah desa, tokoh agama, dan Mosalaki (kepala adat) menjadi kunci. Mosalaki Antonius Bewa (56) memimpin pembangunan berbasis adat dan budaya Suku Ndiko dan Sapu.

Antonius tak pernah menyangka akan memimpin adat. Sempat merantau dan berkarir di Makassar, kabar duka mengubah hidupnya. Ayahnya, sang Mosalaki, wafat. Keluarga memintanya pulang untuk melanjutkan kepemimpinan adat. “Saya terima aturan ini,” katanya.
Kembali ke desa bukan kemunduran. Berbekal pengalaman birokrasi, Antonius menanamkan perubahan pola pikir. Diskusi terbuka lebar, membahas pendidikan, pengasuhan, hingga hak adat. Tiga pilar desa mendukung gerakan ini.
Kemitraan dengan Wahana Visi Indonesia (WVI) makin mengarahkan perubahan. Mereka membentuk Gugus Tugas Layak Anak. Tujuannya menjadikan Ndikosapu desa layak anak pertama di Ende, memenuhi 16 indikator. Tugas mereka memerangi penelantaran anak saat orang tua bekerja, menghentikan kekerasan pada anak, dan memperjuangkan hak pendidikan.

Mosalaki serius menanggapi ini. Fokusnya kini memastikan semua anak bersekolah, sehat, dan bermental kuat. Namun, tantangan besar menghadang. Partisipasi sekolah rendah karena jarak dan banyak anak tak punya akta kelahiran. Padahal, akta penting untuk akses pendidikan dan kesehatan. “Masyarakat jangan tertinggal,” tegas Antonius.
Akses jalan yang sulit karena kontur perbukitan dan potensi longsor menambah tantangan. Jarak ke pasar atau sekolah kecamatan sekitar 15 kilometer harus ditempuh dengan berjalan kaki atau motor.
Namun, keterbatasan tak menghentikan inovasi. Pemanfaatan internet satelit secara swadaya menjadi terobosan. Internet bukan lagi gaya hidup, melainkan kebutuhan mendesak. Kini, anak-anak belajar daring, pemerintah desa mudah beradministrasi, dan pemuda mempromosikan hasil tani serta budaya lokal secara digital. “Kami bisa belajar dan memperkuat potensi,” ujar Antonius.

Pertanian tetap menjadi andalan. Sistem tumpang sari pisang, kemiri, kakao, cengkeh, vanili, kacang, dan umbi menjaga kesuburan tanah serta ketahanan pangan. Hasil panen sebagian disimpan dan dibagi, memperkuat solidaritas. Tradisi makan bersama selalu hadir dalam rapat warga.
Adat tetap menjadi fondasi. Ritual tolak bala Jokawola dan persembahan leluhur Patika Mamokambu lestari. Pire, hari menghormati alam dengan berhenti dari aktivitas tertentu, tetap dijalankan. “Ini nilai untuk anak-anak kami,” kata Antonius.
Ndikosapu memang belum sempurna. Jalan aspal kokoh dan fasilitas modern masih menjadi impian. Namun, desa ini memiliki modal utama: kepercayaan diri, tanggung jawab kolektif, dan semangat belajar berlandaskan adat. Di balik kabut Lepembusu, Ndikosapu mengajarkan bahwa pembangunan berakar budaya akan lebih kuat dan bertahan. Setiap langkah kecil mereka adalah jejak perubahan nyata.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.