JOKO KOENTORO : Banyak pengamat yang seperti tergopoh mempertegas pembeda antara artikulasi Merdeka Belajar dan Belajar Merdeka. Ini agak lucu, kalangan pendidik lebih percaya terhadap orientasi pembebasan dalam belajar. Alih-alih sambil menyikapi kemudahan dan percepatan yang disediakan teknologi digitalisasi, mereka, para ahli dan guru, cenderung ‘membiarkan’ anak didik belajar sendiri (sebagai ganti istilah merdeka) melalui wahana online. Iklim otodikdaktik, melalui Program Merdeka Belajar, seperti ingin lebih ditumbuhkan. Maknyak?
Saya teringat Tata Titi Jawa mengenai PANCER. Mengenai kesadaran tentang AKU, di tengah persimpangan Mandala Pat atau kalkulasi Papatan (empat) bahwa, yang disebut Pancer, dalam konteks nus atau manusia, adalah AKU : AKU dalam konteks kenegaraan disebut KEDATON. AKU spiritualitas disebut CANDI PAMUJAN atau candi pemujaan – bukan Candi Pendarmaan (penghormatan terhadap leluhur).
Kesadaran mengenai AKU menjadi penting karena, dengan demikian, manusia telah dengan sadar menempatkan DIRI sebagai SUBYEK – menjadi SUBYEK pada perubahan diri sendiri.
Di dalam program MERDEKA BELAJAR, ini menurut saya, anak-didik akan sulit menemukan obyektif pembelajaran lebih terarah jika kesadaran tentang AKU, DIRI, sebagai Si Subyek, tidak disadari dan, untuk kemudian bisa terus menerus mengupayakan perubahan – serta kebaikan pada setiap langkah dan capaian.
Kedua, syarat mutlak agar sampai pada tingkatan sadar tentang AKU, DIRI PRIBADI sebagai subyek, anak didik perlu memiliki nalar DIALEKTIK yang memadai. ‘Ngko Gek?’, ‘Apa Iya?’, ‘Ojo-ojo salah?’, ‘Jangan-jangan nanti keliru?’, ungkapan yang sering kita dengar di tengah keseharian masyarakat Jawa, itu seolah bentuk pesimistis. Padahal, di situ menunjukkan adanya ‘nalar yang hidup’ atau ‘nalar aktif’ – sebagai dasar DIALEKTIKA.
Ketika kita berpikir menggunakan konsep PAPATAN : Desa Papat, Sedulur Papat Lima Pancer, Mandala Pat, Kekawin, Kuantrin, Kuadran, Segara – Gunung + Kala Mangsa, dst, di situ DIALEKTIKA telah hidup. Cara berpikir kritis dengan melibatkan kalkulasi tesa – antitesa dalam silangan kuadran optimis dan pesimis, antara yang terukur dan tidak terukur, dst telah berlangsung.
Pemecahan masalah melalui ukuran SWOT sebagai contoh, merupakan hitungan PAPATAN : Keunggulan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman dalam menemukan titik simpul yang PAS (tepat). Kalkulasi akhir yang ingin ditemukan bukan soal salah atau benar, melainkan tepat atau tidak tepat. Tradisi DIALEKTIK sangat dibutuhkan sebagai landasan dalam pengembangan Program MERDEKA BELAJAR. Semangat akhir dari penyejarahan nalar (dan budi) tersebut mengajak manusia punya daya solutif, mengoptimalkan potensi imajinasi, menumbuhkan kreativitas, temuan inovatif (pengembangan) dan invensi-invensi (penciptaan).
Di dunia jurnalistik dan riset, di sana berlaku prinsip : baca, perdalam, petakan, temukan, lalu simpulkan (quadran theory). DIALEKTIKA berlaku untuk segala bidang kehidupan, ketika manusia ingin mencapai kemuliaannya.
Terakhir, hal ketiga : LELAKU. Atau lebih lengkapnya disebut ILMU TINEMU LAKU. Tanpa melalui pengalaman personal, mencoba, melakukan, mencari dan mengalami sendiri, apapun bentuk ILMU, di situ baru sampai pada tingkatan WERUH (tahu). Agar berkembang menjadi KAWERUH (pengetahuan), bentuk WERUH dan hal-hal yang DIWERUHI (diketahui) perlu lebih dulu dikenali, digauli, dialami yang, pada terminologi ILMU TINEMU LAKU menjadi kemutlakan : memasuki tahapan tahapan yang disebut WANUH.
Pertanyaan kita bersama : Apa hasil Program MERDEKA BELAJAR yang saat ini sedang diglorifikasi pemerintah ketika kesadaran tentang AKU DIRI tidak ada, tradisi DIALEKTIKA tidak dihidupkan dan prinsip TEMUAN : ILMU TINEMU LAKU tidak menjadi keharusan???
Jawaban : apa yang disebut percepatan menjadi ketergesaan. Perubahan diartikan meniadakan terhadap yang sebelumnya, modernisasi sama artinya dengan anti tradisi, kemudahan menjadi Nina bobo, secanggih informasi di depan mata hanya semacam tontonan, sebagus-bagusnya gadget cuma pristise kepemilikan, perjalanan waktu hanya fenomena pembodohan.
Salam
Pegiat Sosial Budaya tinggal di Borobudur Magelang
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.