Menu

Mode Gelap
Kemendes PDTT dan CTC Jalin Kerja Sama Tingkatkan Kesadaran Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim IKADIN Lampung Dukung Penuh Aksi Cuti Bersama Hakim, Desak Kenaikan Gaji Indonesia Perangi Bencana: Dana Desa Ditujukan untuk Desa-Desa Rentan Iklim Gus Halim Didapuk Sebagai Bapak Bumdesa Bersama Lkd BUMDES Diajak Aktif dalam Program Makan Siang Gratis

OPINI · 9 Mei 2023 06:00 WIB ·

MERDEKA BELAJAR


 MERDEKA BELAJAR Perbesar

JOKO KOENTORO : Banyak pengamat yang seperti tergopoh mempertegas pembeda antara artikulasi Merdeka Belajar dan Belajar Merdeka. Ini agak lucu, kalangan pendidik lebih percaya terhadap orientasi pembebasan dalam belajar. Alih-alih sambil menyikapi kemudahan dan percepatan yang disediakan teknologi digitalisasi, mereka, para ahli dan guru, cenderung ‘membiarkan’ anak didik belajar sendiri (sebagai ganti istilah merdeka) melalui wahana online. Iklim otodikdaktik, melalui Program Merdeka Belajar, seperti ingin lebih ditumbuhkan. Maknyak?

Saya teringat Tata Titi Jawa mengenai PANCER. Mengenai kesadaran tentang AKU, di tengah persimpangan Mandala Pat atau kalkulasi Papatan (empat) bahwa, yang disebut Pancer, dalam konteks nus atau manusia, adalah AKU : AKU dalam konteks kenegaraan disebut KEDATON. AKU spiritualitas disebut CANDI PAMUJAN atau candi pemujaan – bukan Candi Pendarmaan (penghormatan terhadap leluhur).

Kesadaran mengenai AKU menjadi penting karena, dengan demikian, manusia telah dengan sadar menempatkan DIRI sebagai SUBYEK – menjadi SUBYEK pada perubahan diri sendiri.

Di dalam program MERDEKA BELAJAR, ini menurut saya, anak-didik akan sulit menemukan obyektif pembelajaran lebih terarah jika kesadaran tentang AKU, DIRI, sebagai Si Subyek, tidak disadari dan, untuk kemudian bisa terus menerus mengupayakan perubahan – serta kebaikan pada setiap langkah dan capaian.

Kedua, syarat mutlak agar sampai pada tingkatan sadar tentang AKU, DIRI PRIBADI sebagai subyek, anak didik perlu memiliki nalar DIALEKTIK yang memadai. ‘Ngko Gek?’, ‘Apa Iya?’, ‘Ojo-ojo salah?’, ‘Jangan-jangan nanti keliru?’, ungkapan yang sering kita dengar di tengah keseharian masyarakat Jawa, itu seolah bentuk pesimistis. Padahal, di situ menunjukkan adanya ‘nalar yang hidup’ atau ‘nalar aktif’ – sebagai dasar DIALEKTIKA.

Ketika kita berpikir menggunakan konsep PAPATAN : Desa Papat, Sedulur Papat Lima Pancer, Mandala Pat, Kekawin, Kuantrin, Kuadran, Segara – Gunung + Kala Mangsa, dst, di situ DIALEKTIKA telah hidup. Cara berpikir kritis dengan melibatkan kalkulasi tesa – antitesa dalam silangan kuadran optimis dan pesimis, antara yang terukur dan tidak terukur, dst telah berlangsung.

Pemecahan masalah melalui ukuran SWOT sebagai contoh, merupakan hitungan PAPATAN : Keunggulan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman dalam menemukan titik simpul yang PAS (tepat). Kalkulasi akhir yang ingin ditemukan bukan soal salah atau benar, melainkan tepat atau tidak tepat. Tradisi DIALEKTIK sangat dibutuhkan sebagai landasan dalam pengembangan Program MERDEKA BELAJAR. Semangat akhir dari penyejarahan nalar (dan budi) tersebut mengajak manusia punya daya solutif, mengoptimalkan potensi imajinasi, menumbuhkan kreativitas, temuan inovatif (pengembangan) dan invensi-invensi (penciptaan).

Di dunia jurnalistik dan riset, di sana berlaku prinsip : baca, perdalam, petakan, temukan, lalu simpulkan (quadran theory). DIALEKTIKA berlaku untuk segala bidang kehidupan, ketika manusia ingin mencapai kemuliaannya.

Terakhir, hal ketiga : LELAKU. Atau lebih lengkapnya disebut ILMU TINEMU LAKU. Tanpa melalui pengalaman personal, mencoba, melakukan, mencari dan mengalami sendiri, apapun bentuk ILMU, di situ baru sampai pada tingkatan WERUH (tahu). Agar berkembang menjadi KAWERUH (pengetahuan), bentuk WERUH dan hal-hal yang DIWERUHI (diketahui) perlu lebih dulu dikenali, digauli, dialami yang, pada terminologi ILMU TINEMU LAKU menjadi kemutlakan : memasuki tahapan tahapan yang disebut WANUH.

Pertanyaan kita bersama : Apa hasil Program MERDEKA BELAJAR yang saat ini sedang diglorifikasi pemerintah ketika kesadaran tentang AKU DIRI tidak ada, tradisi DIALEKTIKA tidak dihidupkan dan prinsip TEMUAN : ILMU TINEMU LAKU tidak menjadi keharusan???

Jawaban : apa yang disebut percepatan menjadi ketergesaan. Perubahan diartikan meniadakan terhadap yang sebelumnya, modernisasi sama artinya dengan anti tradisi, kemudahan menjadi Nina bobo, secanggih informasi di depan mata hanya semacam tontonan, sebagus-bagusnya gadget cuma pristise kepemilikan, perjalanan waktu hanya fenomena pembodohan.

Salam

Follow WhatsApp Channel Desamerdeka.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow
Artikel ini telah dibaca 25 kali

badge-check

Jurnalis

Tinggalkan Balasan

Baca Lainnya

Pembangunan Desa Berbasis Dampak: Mewujudkan Desa Mandiri Berkelanjutan

25 September 2024 - 10:56 WIB

BPD Berperan Penting Awasi Pengangkatan Perangkat Desa, Ketua PABPDSI Simalungun Beri Dukungan Penuh

10 September 2024 - 09:29 WIB

Pilkada Simalungun 2024: 79 Hari Menuju Gelaran Buram?

8 September 2024 - 09:40 WIB

Muna Barat di Ambang Krisis Demokrasi: Dominasi Satu Figur dan Dilema Kotak Kosong

22 Agustus 2024 - 15:28 WIB

Muna Barat Berusia 10 Tahun: Dari Embrio Menuju Masa Depan Gemilang

23 Juli 2024 - 21:15 WIB

Arti Strategis Pemberitaan Desa yang Positif di Era Digital

4 Juli 2024 - 21:34 WIB

Trending di OPINI