Andi Salim – Siapa yang berani menjamin jika kementerian dan lembaga yang dipimpinnya bersih dari korupsi. Tentu para pejabat itu akan bungkam. Sama halnya ketika kita bertanya kepada kepala daerah mana pun yang berani mengatakan bahwa jajaran yang dipimpinnya tidak ada yang menyalahi kewenangan untuk tidak berbuat korupsi. Jangankan diwilayah eksekutif, bahkan lembaga legislatif dan yudikatif pun menjadi sarang pusaran korupsi yang saat ini tidak lagi memiliki kredibilitas untuk bisa dikatakan sebagai lembaga yang terbebas dari korupsi. Apakah mereka yang jujur dan memiliki integritas itu telah punah, tentu saja bukan itu maksud dari penulisan ini. Namun penulis harus menyampaikan bahwa masyarakat pun hampir putus asa atas gelombang praktek korupsi yang semakin marak hingga pemberitaan mengenai hal yang satu ini bagaikan rutinitas pembuka santapan hidangan di pagi hari.
Toh kalangan agama yang duduk sebagai pejabat pun dianggap berlaku sama. Layaknya persepsi masyarakat saat ini, bahwa tidak ada korelasi antara kapasitas penguasaan ilmu agama yang dimiliki seseorang untuk bisa dikaitkan dengan moral mereka agar berlaku jujur dan amanah. Kambing hitamnya tak lain adalah bahwa politik menjadi sarana yang kotor hingga pantas untuk di kambing hitamkan dibalik tujuan mulianya sebagai sarana menampung aspirasi rakyat guna mensejahterakan masyarakat melalui sistim demokrasi yang terbuka. Tentu saja hal ini bisa dilihat pada tujuan dari mempelajari ilmu politik itu sendiri yang memberikan pemahaman secara integral terhadap manfaat ilmu politik dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Bahwa Ilmu politik bertujuan untuk mensejahterakan bangsa, mencerdaskan kehidupan rakyat, dan mempertahankan kedaulatan negara.
Terbukanya jabatan politis di setiap institusi kelembagaan termasuk posisi kepala daerah tentu mendatangkan dinamika tersendiri pada disetiap formalitas internal di setiap institusi tanpa kecuali. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa ada kecemburuan sekaligus tekanan dibalik pejabat politik yang menduduki puncak kekuasaan dibalik kelangsungan jenjang karir ASN yang disinyalir memberikan efek domino oleh karena hanya mereka yang loyal terhadap pimpinannya saja, baik disetiap di kementerian dan lembaga atau kepala daerah yang bisa diprioritaskan untuk mengisi pos-pos penting sebagai kaki tangan penguasa sektor atau wilayah. Bagaimana pun, setiap pejabat publik itu belum tentu menguasai sepenuhnya bagaimana pola bekerja dibawah ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Disinilah faktor utama penyebab terjadinya proses tarik menarik kepentingan itu terjadi.
Alangkah mustahilnya tindakan korupsi itu terjadi dari oknum sebagai pemain tunggal yang tidak melibatkan pejabat diatasnya yang berwenang tanpa ada rambu-rambu dari petunjuk para bawahannya yang memahami aturan dan peraturan yang terkait dengan berbagai persoalan. Istilah TST atau lazim dikenal Tahu Sama Tahu menjadi kesepakatan yang tidak tertulis namun kuat untuk menyatukan friksi internal yang terjadi diantara mereka. Artinya, bagi para ASN yang terlanjur harus menerima fakta berlakunya desentralisasi kekuasaan bisa saja menjadi loyal sepanjang peluang korupsinya tidak dihambat oleh pimpinan 5 tahunan itu. Bahkan mereka pun memahami betul bahwa setiap pejabat publik yang menjadi pimpinannya tentu naik dengan pengorbanan dari besarnya anggaran biaya politik yang telah dikeluarkan dalam memenangkan pilkada atau ikut pada kampanye pilpres, hingga membutuhkan proses pengembalian investasi politik atau bahkan keuntungan dibalik kursi kekuasaan yang diperolehnya. Maka tak heran pada kepentingan ini keduanya menjadi terikat kedalam kepentingan yang sama bahwa pelayanan publik itu harus dikorbankan.
Hal-hal semacam ini biasa terjadi antara kepala daerah dengan jajaran dinas yang menjadi bawahannya. Sebab posisi kepala dinas tentu sulit dipungkiri jika mereka tidak memiliki kontrak politik untuk mendukung Gubernur atau Bupati dan Walikotanya, dimana semua kepala dinas itu diangkat justru berdasarkan kewenangan kepala daerah itu sendiri. Begitu pula hal yang sama terjadi ditingkat pusat, manakala seorang menteri yang memang diangkat berdasarkan hak prerogatif Presiden. Sehingga sudah barang tentu menjalankan fungsi dan tugasnya untuk fokus kepada janji kampanye Presiden terpilih sekaligus memiliki loyalitas dan integritas yang tinggi pula. Lalu bagaimana dengan jabatan-jabatan yang bersentuhan langsung dengan pelayanan publik. Tidakkah ada celah kosong manakala pada eselon 3 dan 4 yang jauh dari jangkauan Presiden atau kepala daerah masing-masing.
Shortcut dari penulisan ini adalah bahwa persoalan korupsi sering menjadi sulit dimusnahkan oleh karena mereka yang melakukan penyalahgunaan jabatan adalah orang yang dianggap dekat hingga saling kancing dan saling kunci sebagaimana yang telah penulis sebutkan diatas. Sebab di satu sisi, peranan pejabat eselon 3 dan 4 atau orang-orang yang melakukan tindakan korupsi itu justru sangat taktis dalam mengatasi problem solving persoalan kerja bahkan tak sedikit pula mendatangkan prestasi yang membanggakan, termasuk keberhasilannya menerapkan segala kebijakan dimana hal itu menjadi target institusi atau lembaga tertentu. Namun disisi lain, kompleksitas pekerjaan yang menuntut pelayanan yang cepat dan solutif dibawah payung aturan dan ketentuan yang berlaku sering mendatangkan tawaran dari pihak lain hingga terjebak pada upaya gratifikasi, suap atau segala yang bersifat menguntungkan dirinya sendiri.
Posisi para eselon 3 dan 4 ini memang menjadi sangat vital, sebab justru diposisi merekalah muara terjadinya berbagai kepentingan antara pelayanan publik dan kebijakan sektor itu bertemu. Para pemimpin sektor dan kedinasan daerah acapkali menggantungkan harapan yang tinggi dari eksistensi kerja mereka, bahkan tak sedikit pula yang menitipkan kinerja yang tinggi terhadap pencapaian dari orang-orang yang memerankan posisi penyelia di front terdepan semacam ini. Oleh karenanya, jika mereka tersandung kasus penyalahgunaan jabatan atau menjadi target sasaran pihak hukum, maka segala sesuatunya seakan-akan terhenti, bahkan pengusutan terhadap kasusnya pun dapat saja dikembangkan oleh pihak penyidik, hal itu dikarenakan posisinya yang tepat ditengah-tengah kepentingan penerapan dari kebijakan yang dikuasainya. Inilah fakta betapa sulitnya membersihkan orang-orang yang berada pada jenjang struktur sebagai motor penggerak, dimana posisi mereka tidak terlalu jauh dari pucuk pimpinan tertinggi, namun tidak pula terlalu dekat.
Ada anggapan bahwa jika Presiden tidak melakukan korupsi sekalipun, tidak berarti para menko dan para menterinya terbebas dari berbagai kesempatan untuk melakukannya. Apalagi terhadap para sekjen, dirjen, irjen dan seterusnya. Walau sudah ditegaskan dan diangkat sumpah sekalipun hal itu tetap saja terjadi. Termasuk pada kewenangan daerah ditingkat Sekda, kepala dinas dan pengawas institusi kedaerahan sekalipun. Hal ini akibat dari negara yang tidak pernah fokus untuk menciptakan efek jera terhadap pelakunya. Pada sisi eksekutif para penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian justru sulit diharapkan. Bahkan terhadap lembaga Yudikatif selaku pengetuk palu keadilan sekalipun hukum seolah-olah menjadi komoditi yang bisa ditransaksikan untuk ditawar, dipesan bahkan membebaskan para pelakunya. Demikian pula Legislatif sebagai bidang kekuasaan negara dalam membuat UU sekaligus melakukan pengawasannya. Mereka bahkan ikut memuluskan kelancaran aksi korupsi ini dengan tidak adanya hukuman yang terkesan berat terhadap extra ordinary yang satu ini.
Artikel ini telah tayang di facebook.com
Redaksi Desa Merdeka
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.