ANDI SALIM – Banyak yang ikut pilkada dari berbagai kesempatan yang mereka peroleh, entah dari posisinya yang menapaki karier sebagai ASN sehingga digadang-gadang untuk terjun pusaran politik, atau para aktifis politik yang kondang untuk maju sebagai peserta dari kalangan internal partainya. Namun pada sisi lain, ada juga dari para profesional muda yang berlatar belakang pengusaha atau tokoh masyarakat dan agama terdorong agar mengikuti perhelatan politik dari tawaran partai agar ikut dalam debut perebutan kekuasaan yang mungkin saja pada akhirnya memenangkan mereka untuk duduk sebagai Walikota atau Bupati, bahkan Gubernur sekalipun.
Bagi masyarakat tentu melihatnya sekedar kewajaran semata, seakan tidak ada yang aneh dari pertisipasi mereka, sehingga aksi dukungan terhadap upaya memenangkannya pun kian menguat, seiring amunisi yang ditebar bagi kalangan bawah agar ikut menyuarakan framing bibit, bebet dan bobotnya meskipun pembuktian mengenai kebenaran hal itu belum pernah dilakukan. Semisalnya anak pejabat dan pengusaha yang baru saja beberapa waktu tamat kuliah atau memperoleh gelar akademik hingga jenjang S2, pada poster tersebut acapkali mereka menyandang sebutan sebagai Profesional muda yang kerap menghiasi disetiap sudut kawasan pertarungannya.
Tak lama kemudian, hiruk pikuk pencalonannya pun bagaikan wabah pandemi yang melakukan penularan dari aktifitas pada sentra-sentra berkumpulnya warga, tak terkecuali warung kopi dan kawasan tongkrongan untuk membicarakan point-point penting khususnya determinasi kawasan pemenangan sekaligus perebutan kawasan yang menjadi pertarungan terhadap lawan persaingannya. Termasuk dari pihak tim pemenangan partai dan ormas pendukung yang siap berdiskusi hingga semalaman suntuk. Pokoknya dimana banyak orang berkerumun, maka disana pulalah mereka hadir untuk mempengaruhinya. Intinya, apa yang dibicarakan menjadi sumber informasi yang pada akhirnya diestafetkan kepada yang lain dan seterusnya.
Keadaan semacam ini tidak saja terjadi pada ajang perebutan kekuasaan pemerintah di daerah, pada bidang legislatif pun hal ini sejak lama terjadi dan bahkan semakin akut keberadaannya. Mereka yang duduk baik di tingkat Kabupaten atau Kota, serta Provinsi bahkan senayan sekalipun masih saja berlangsung merekrut orang-orang yang tidak memiliki wawasan pembangunan nasional yang dibutuhkan bagi kemajuan bangsa dan negara ini. Sehingga realitas yang timbul kemudian adalah, akan terjadinya ketimpangan intelektual yang tidak terselaraskan oleh salahnya pemikiran individu yang muncul ke publik.
Kondisi ini terjadi, baik pada partai koalisi yang tergabung dalam pemerintah, mau pun terhadap oposisi yang semestinya mendapatkan celah kritik ideal bagi perbaikan pada sisi kebijakan hingga sepatutnya menjadi perhatian khusus pemerintah atau masyarakat luas. Akselerasi terhadap penyesuaian isu politik dan ekonomi sama sekali tidak terjadi, apalagi terhadap isu-isu lain yang berkembang ditengah masyarakat saat ini, sehingga kita semua pun mendapati fakta bahwa keinginan rakyat untuk lebih ke timur, namun disuarakan mereka ke arah barat yang menjadikan kebijakan partai tersebut dengan istilah “jauh panggang dari apinya”.
Walau berlakunya aturan berpolitik untuk memilih dan dipilih memang menjadi hak setiap warga negara, namun mempersiapkannya melalui berbagai seminar dan peningkatan keilmuan merupakan bagian yang penting sehingga tidak serta merta mengisi posisi apa untuk mendudukan merek kepada jabatan yang diembannya. Sebab disadari merekrut tokoh masyarakat dan agama atau para selebritis sekalipun tentu didasari pada popularitas mereka yang memiliki banyak konstituen agar kehadirannya dapat mendongkrak elektoral partai sehingga mampu meningkatkan perolehan kursi partai pula pada akhirnya. Pada strategi inilah yang menimbulkan terjadinya persoalan baru.
Sebab cara seperti itu sebenarnya memang sah-sah saja dilakukan. Namun diharapkan setiap partai tidak boleh meninggalkan kewajiban untuk mempersiapkan diri mereka hingga memiliki kwalitas dan ketajaman dibidangnya pula, termasuk sikap integritas, profesionalitas dan kapabilitas yang harus mereka miliki tentunya. Penyaringan atau penjaringan yang mendahulukan mereka yang memiliki modal serta menyingkirkan mereka yang berkualitas sungguh menciptakan dampak kemunduran bangsa dan negara ini. Apalagi pada penyesuaian peradaban baru di era digitalisasi belakangan ini, dimana keharusan akselerasi tidak saja terjadi pada sisi tehnologi, namun sudah merambah pada berbagai bidang termasuk sisi budaya dan agama yang melekat pada masyarakat modern saat ini.
Kehadiran partai politik yang legitimate untuk mewakili suara rakyat semestinya tidak semata-mata mengejar kekuasaan, namun harus pula menemukan solusi yang komprehensif bagi kepastian kehidupan bermasyarakat serta menjaga kultur budayanya sebagai jantung interaksi sosial yang melestarikan habitat kemanusiaan agar terjalin indah, harmonis dan damai. Jangan sampai masyarakat malah menganggap citra partai yang semakin tertutup terhadap aspirasi rakyat, serta membentuk eksklusifitas bagi para kroninya sendiri yang semakin jauh pula dari jangkauan harapan masyarakat luas. Jika itu terjadi, akibatnya partai politik senantiasa diartikan sebagai pembajak suara rakyat yang tentu saja berbeda dari apa yang di inginkan rakyat sesungguhnya.
Artikel ini pernah Tayang di https://www.facebook.com/groups/402622497916418/
Redaksi Desa Merdeka
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.