Karangasem, Bali [DESA MERDEKA] – Ritual Siat Sarang, sebuah tradisi unik yang menggunakan alas bekas pembuatan kue uli sebagai senjata perang, kembali digelar di Desa Adat Selat, Kecamatan Selat, Karangasem, Bali. Ritual ini merupakan bagian dari rangkaian upacara Usaba Dimel yang puncaknya jatuh pada Saniscara Paing Ukir, Sabtu (1/3/2025).
Ritual yang diadakan pada Rabu (26/2/2025) ini bertujuan untuk menyucikan diri dari pengaruh Bhuta Kala dan memerangi musuh-musuh batin (ripu). Secara fisik, ritual ini diwujudkan dalam bentuk perang antar kelompok pemuda yang saling lempar menggunakan sarang (alas kue uli) di perbatasan Banjar Selat Kelod dan Banjar Selat Kaja.
Sebelum perang dimulai, para pemuda dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok utara (kaja) terdiri dari pemuda Banjar Paruman Sila Darsana, Banjar Dharma Saba, dan Banjar Eka Dharma. Kelompok selatan (kelod) terdiri dari pemuda Banjar Bunteh, Banjar Telengis, Banjar Parigraha, dan Banjar Sukawana.
Prosesi ritual dimulai dari rumah-rumah warga. Pada pagi hari, warga mempersembahkan tenge (sesaji yang berisi daun gegirang, bambu, gunggung, dan aba) yang dihias dengan gambar Bhuta Kala di halaman rumah mereka. Pada sore hari, tenge tersebut dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam sarang. Sarang kemudian ditempatkan di lebuh (dekat pintu halaman rumah) untuk menarik kekuatan Bhuta Kala masuk ke dalamnya.
Selanjutnya, sarang dibawa ke Pura Bale Agung untuk mendapatkan labaan (persembahan kepada makhluk yang lebih rendah tingkatannya) berupa banten pacaruan, sekaligus menyucikan sifat-sifat Bhuta Kala.
Prajuru Desa Adat Selat kemudian menggelar pacaruan di depan palinggih Ida Bhatara Sila Majemuh, dipimpin oleh Bendesa Jro Mangku Gede Mustika. Setelah itu, Jro Gede Mustika menemui kedua kelompok pemuda yang telah berhadap-hadapan. Perang dimulai ketika Jro Gede Mustika mengambil dua sarang dan melemparkannya ke tengah-tengah kedua kelompok.
Kedua kelompok pemuda kemudian saling melempar sarang hingga hancur. Meskipun perang berlangsung sengit dengan jarak hanya sekitar tiga meter, tidak ada pemuda yang mengalami cedera. Perang berakhir setelah semua sarang hancur dan kedua kelompok kelelahan.
Ritual Siat Sarang ini diadakan setiap tahun menjelang Usaba Dimel (Usaba Dodol) di depan Pura Bale Agung. “Ini ritual rutin untuk menyucikan Bhuta Kala sebelum puncak Usaba Dimel di Pura Dalem,” jelas Jro Gede Mustika. Sarang melambangkan musuh batin yang harus diperangi. Ketika sarang hancur, perang pun berakhir, menandakan kemenangan atas diri sendiri.
Redaksi Desa Merdeka
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.