Kontradiksi di Jantung Kebijakan Desa
Sejak disahkan pada 2014, Undang-Undang Nomor 6 tentang Desa telah menjadi tonggak reformasi yang menjanjikan kedaulatan bagi 74 ribu lebih desa di Indonesia. Prinsip rekognisi (pengakuan) dan subsidiaritas (penetapan kewenangan lokal) menjadi nafas utama, diiringi instrumen fiskal kuat: Dana Desa (DD).
Namun, semangat otonomi yang diamanatkan UU Desa kini terancam dibungkam oleh regulasi teknis. Perencanaan alokasi DD untuk tahun anggaran 2026, yang diiringi potensi perubahan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait pengelolaan DD, menunjukkan gelagat sentralisasi anggaran yang berpotensi memicu kerawanan multisektor: dari hukum, sosial-politik, hingga ekonomi desa.
Pernyataan dari Kementerian Keuangan baru-baru ini bahwa alokasi DD 2026 akan turun menjadi Rp 60 triliun ( jauh di bawah amanat UU ) disusul dengan kabar alokasi besar untuk program pusat seperti Koperasi Merah Putih, adalah sinyal bahaya yang harus direspons tegas oleh seluruh pegiat desa.
Pelanggaran Hukum: PMK Melampaui Batas Kewenangan
Pusat konflik hukum antara PMK dan UU Desa terletak pada prinsip otonomi desa, rekognisi, dan subsidiaritas. PMK, sebagai regulasi setingkat menteri, secara hukum tidak boleh membatasi substansi hak yang dijamin oleh UU di atasnya.
1. Pembangkangan Terhadap Amanat Persentase 10%
Amanat eksplisit Pasal 72 UU Desa menyatakan bahwa DD harus dialokasikan paling sedikit 10% dari total Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).
Fakta menunjukkan adanya defisit kepatuhan yang signifikan. Dengan postur TKDD saat ini, alokasi DD seharusnya minimal Rp 70,27 triliun. Dengan hanya mengalokasikan Rp 60 triliun, Pemerintah dan DPR secara hukum gagal melaksanakan amanat wajib UU Desa, meninggalkan lubang defisit kepatuhan sebesar lebih dari Rp 10 triliun. Secara hukum, ini bukan lagi masalah “bertahap,” melainkan inkonsistensi yang jelas.
2. PMK Merampas Kedaulatan Musyawarah Desa
UU Desa menempatkan Musyawarah Desa (Musdes) sebagai pemegang kedaulatan penetapan APBDesa. Prioritas yang ditetapkan Menteri Desa seharusnya menjadi pedoman arah, bukan kewajiban kuantitatif yang mengikat.
Namun, PMK mengubah prioritas menjadi kewajiban alokasi persentase wajib (seperti 20% Ketahanan Pangan atau, yang terbaru, alokasi besar untuk program cicilan Koperasi Merah Putih). Ini adalah bentuk intervensi kuantitatif yang masif. PMK secara efektif merampas hak Musdes untuk merencanakan anggaran sesuai kebutuhan dan potensi lokal.
Ketika PMK mengatur detail anggaran yang seharusnya menjadi wewenang UU Desa dan Musdes, ia menciptakan pelanggaran hierarki perundang-undangan. Inilah yang menjadi landasan kuat untuk gugatan hukum (judicial review) ke Mahkamah Agung terhadap regulasi fiskal yang dianggap membatasi hak konstitusional Desa.
Kerawanan Sosial-Politik: Aksi Protes dan Erosi Kepercayaan
Dampak dari kontradiksi hukum tersebut tidak berhenti di meja sidang, melainkan langsung menjalar ke ranah sosial-politik di akar rumput.
1. Pemicu Aksi Massa Kepala Desa
Kepala Desa dan perangkatnya berada di tengah-tengah tekanan yang tidak adil. Mereka dituntut untuk mematuhi PMK Pusat dengan ancaman sanksi penundaan penyaluran DD, sementara pada saat yang sama, mereka harus bertanggung jawab kepada Musdes dan masyarakat yang menuntut pemenuhan kebutuhan dasar yang terakomodasi dalam RPJMDesa.
Jika mayoritas DD dihabiskan untuk program wajib sentralistik (seperti cicilan Rp 40 triliun untuk Koperasi Merah Putih), anggaran untuk infrastruktur, pendidikan, dan layanan publik lokal akan habis. Ketidakpuasan dan frustrasi ini memiliki potensi besar untuk memicu aksi protes massa dari ribuan Kepala Desa dan perangkatnya. Gerakan ini bukan sekadar menuntut kenaikan gaji, melainkan menuntut pengembalian hak kedaulatan anggaran desa.
2. Politik Fiskal Sentralistik dan Erosi Kepercayaan
Intervensi berlebihan melalui PMK ini mencerminkan politik fiskal yang sentralistik, seolah-olah Pemerintah Pusat tidak mempercayai Desa dalam mengelola uangnya sendiri. Padahal, Dana Desa adalah perwujudan pengembalian hak otonomi.
Hal ini secara langsung mengikis kepercayaan masyarakat dan perangkat Desa terhadap komitmen Pemerintah Pusat dan DPR dalam menjalankan amanat UU Desa. Ini adalah risiko politik jangka panjang yang lebih mahal daripada sekadar kekurangan anggaran.
Dampak Ekonomi: Menghambat Potensi Unggulan Lokal
Bagi para pegiat ekonomi desa, isu kerawanan PMK ini menghadirkan ancaman nyata bagi investasi produktif lokal.
Dana Desa seharusnya bersifat fleksibel untuk menjadi modal pengembangan potensi unggulan desa dan penguatan BUM Desa. Namun, alokasi persentase wajib yang kaku (terutama jika diarahkan ke program yang tidak sesuai dengan potensi lokal) akan menyebabkan “crowding out” atau penghambatan terhadap investasi produktif.
Sebagai contoh, desa penghasil komoditas unggulan seperti kopi, tembakau, atau perikanan yang membutuhkan dana untuk pengadaan mesin pengolahan atau gudang penyimpanan terpaksa mengalokasikan dana ke program wajib PMK yang tidak sesuai dengan keunggulan desanya. Ketidakfleksibelan anggaran ini justru menghambat output ekonomi desa dan melemahkan daya saing produk lokal.
Panggilan untuk Bertindak
Pemerintah dan DPR harus segera merevisi rencana kebijakan ini. PMK harus dibatasi pada fungsi administrasi penyaluran, dan kewenangan penetapan alokasi DD harus dikembalikan sepenuhnya kepada Musyawarah Desa.
Jika tidak ada langkah korektif, kita akan menyaksikan kontradiksi hukum, kerawanan sosial-politik, dan pembusukan ekonomi di tingkat Desa. Sudah saatnya Pemerintah Pusat berhenti menganggap Desa hanya sebagai pelaksana program sentralistik. Desa adalah subjek pembangunan, dan kedaulatannya harus dihormati.

Jurnalis dan Pegiat Pemberdayaan Masyarakat Peduli Desa. Saat ini adalah Ketua Komunitas Desa Indonesia dan Koordinator Mobile Journalist Desa

















Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.