Malang (DESA MERDEKA) – Di lereng pegunungan Malang, terhampar kisah inspiratif para petani hutan di kawasan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Petak 63A, Desa Tambakasri, Kecamatan Sumbermanjing Wetan. Dulunya, kawasan ini gersang akibat kebakaran hebat di tahun 1982. Namun, dengan kegigihan dan semangat gotong royong, masyarakat berhasil menghijaukan kembali hutan ini dengan berbagai tanaman seperti kopi, cengkeh, petai, manggis, dan durian.
Sejak tahun 1988, para petani di sekitar Petak 63A bahu-membahu menghijaukan kembali kawasan hutan yang dulunya tandus. Mereka sadar bahwa hutan tak hanya berperan sebagai penjaga dan resapan air, tetapi juga sumber kehidupan dan ekonomi.
Pada tahun 1998, atas dasar kesadaran bersama, masyarakat menjalin kerjasama dengan Perum Perhutani untuk mengelola kawasan hutan secara berkelanjutan dengan pola bagi hasil. Kesepakatan ini memberikan ketenangan bagi para petani hutan dan membuka harapan akan masa depan yang lebih sejahtera.
Namun, seiring waktu dan perubahan regulasi, pengelolaan HTR Petak 63A kembali diliputi ketidakpastian. Pada tahun 2007, kawasan ini ditetapkan sebagai Hutan Lindung, dan pola pengelolaan pun berubah menjadi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) melalui LKDPH (Lembaga Kesatuan Desa Hutan).
Meskipun pola PHBM memberikan keleluasaan bagi masyarakat dalam mengelola hutan, namun regulasi yang kompleks dan kurangnya kejelasan informasi seringkali menjadi kendala. Hal ini membuat para petani hutan merasa resah dan terhambat dalam mengembangkan usahanya.
Di tahun 2021, angin segar kembali berhembus dengan program Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHP) yang diusung pemerintah. Program ini menawarkan solusi pengelolaan hutan yang lebih berkelanjutan dan berpihak pada masyarakat, dengan slogan “Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera”.
Para petani hutan di Petak 63A menyambut antusias program IPHPS ini. Mereka berharap program ini dapat memberikan kepastian hukum dan akses yang lebih mudah dalam mengelola hutan.
Namun, di tengah euforia IPHPS, masih terdapat beberapa kendala yang dihadapi para petani hutan. Salah satunya adalah beban pajak yang harus dibayarkan.
Fahrudin, salah satu petani hutan, mengungkapkan keresahannya. “Kami heran, mengapa pihak terkait seakan masa bodoh dengan beban pajak yang harus kami bayar. Padahal negara butuh pajak untuk membangun, untuk membayar abdi negaranya, termasuk untuk membayar para pihak terkait di kehutanan. Kami ingin secepatnya diberikan akses untuk bisa membayar pajak dari penggarapan hutan,” ujarnya.
Fahrudin juga menekankan pentingnya mempertimbangkan kemampuan dan situasi para petani hutan dalam menentukan besaran pajak. “Jangan sampai pajak menjadi beban yang memberatkan dan menghambat usaha kami,” tambahnya.
Kisah para petani hutan di Petak 63A mencerminkan kompleksitas pengelolaan hutan di Indonesia. Di satu sisi, pemerintah ingin menjaga kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat perlu mendapatkan kepastian hukum, akses yang mudah, dan kemudahan dalam mengelola hutan.
Program IPHPS menawarkan solusi yang menjanjikan, namun masih ada banyak hal yang perlu dibenahi agar program ini dapat berjalan efektif dan mencapai tujuannya. Diperlukan koordinasi yang baik antara pemerintah, pihak terkait, dan masyarakat untuk mewujudkan “Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera” yang sejalan dengan prinsip “Hutan Subur Rakyat Makmur”.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.