Jakarta – (Desa Merdeka) : Indonesia saat ini sedang dilanda banyak penyakit, polarisasi politik, dan sangat berbahaya apabila tidak segera diobati.
“Negeri ini harus diobati agar tidak terus menerus ada di dalam siklus kekerasan”.
Demikian disampaikan Abdul Hamid, Ketua Dewan Pengurus LP3ES dalam membuka diskusi publik bertajuk “Masa Depan Reformasi Birokrasi dan Pemerintahan Berkaca pada Kontroversi 349 T Kementerian Keuangan RI”, kerjasama Universitas Paramadina dan LP3ES, Rabu (12/04).
Sebagai narasumber pertama, Dr. Rizal Ramli mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (2000-2001), menyampaikan pendapatnya bahwa intelektual perlu aktif terlibat dalam isu-isu publik.
“Melihat refleksi akademisi di masa perang kemerdekaan di mana mereka berani menyuarakan pendapat. Perubahan yang didorong oleh kalangan intelektual di masa kemerdekaan telah menghasilkan prinsip prinsip dasar kemerdekaan,” ungkapnya.
Menurut Rizal, reformasi setelah kejatuhan Soeharto berjalan cukup baik, demokrasi dan pers berjalan baik, kebijakan ekonomi Habibie berhasil menjauhkan Indonesia dari krisis.
“Namun sayangnya, lambat laun demokratisasi kembali mengalami kemunduran, terutama di masa pemerintahan saat ini. Sikap-sikap otoritarian semakin menguat di era saat ini. Anggota DPR dapat dipecat oleh ketua umum partai apabila bersikap kritis. Berbeda dengan masa era reformasi, DPR bersikap kritis di masa itu.”
Senada dengan Rizal, narasumber berikutnya Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto, Ph.D., memandang akademisi perlu terlibat aktif dalam menanggapi isu-isu publik. Seperti Pemilu yang akan diselenggarakan di tahun 2024 mendatang.
“Pemilu dikhawatirkan menjadi ajang formalitas semata, yang menguasai pemerintahan hanya kelompok-kelompok tertentu”, tukas Wijayanto.
Dalam paparannya Wijayanto mengungkapkan hasil Survey CSIS bahwa 54% pemilih di tahun 2024 adalah pemilih milenial. Selain itu, pemilih muda ini juga memiliki kriteria tersendiri mengenai calon pemimpin ideal.
“Mereka berharap memiliki pemimpin yang jujur, tidak korupsi, dan berpikiran progresif. Mereka tidak lagi berharap pada pemimpin yang sederhana,” sambung Wijayanto.
Pemilih muda juga menaruh perhatian pada isu kesejahteraan dibanding isu-isu politik identitas dan polarisasi.
“Pemilih muda memandang isu ketimpangan ekonomi dialihkan pada isu politik identitas dan polarisasi yang digunakan untuk menyembunyikan ketimpangan ekonomi yang dirasakan oleh publik” ujarnya.
Oleh karenanya Ia menyarankan isu kesejahteraan ini perlu terus digulirkan sebagai bagian dari agenda kampanye Pemilu. Hal ini berkaca pada negara maju yang berhasil membangun negara dengan mengedepankan kampanye kesejahteraan dan layanan publik.
“Mengapa negara maju bisa mewujudkan negara kesejahteraan? Pertama karena adanya kesadaran warga negara, yang kedua, tingginya partisipasi politik warga negara, dan yang terakhir adalah kesadaran pemimpin negara,” pungkas Wijayanto.
Sumber : Arief Tito – Manajer Media dan Visual Universitas Paramadina.
Penggiat Desa. Lakukan yang Perlu saja (Prioritas).
Kita Gak perlu memenangkan semua Pertempuran.
Tinggal di Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.