Magelang [ DESA MERDEKA ] – Pemuda memiliki peran penting dalam menjaga dan mengembangkan kebudayaan Indonesia, terutama di era globalisasi yang semakin pesat. Dalam diskusi kebudayaan yang digelar oleh DPW PMPI Jawa Tengah yang berlangsung pada 15/02/2025, para tokoh menegaskan bahwa teknologi harus dimanfaatkan untuk melestarikan warisan budaya yang mulai memudar. Acara ini menghadirkan berbagai narasumber dari kalangan budayawan dan akademisi yang memberikan gagasan serta dorongan bagi generasi muda agar lebih aktif dalam menjaga nilai-nilai luhur bangsa. Sejumlah tokoh budaya dan akademisi turut hadir, memberikan gagasan serta dorongan bagi generasi muda agar lebih aktif dalam menjaga nilai-nilai luhur bangsa.

Ketua DPW PMPI Jawa Tengah, Riril Widi Handoko, dalam sambutannya menyampaikan bahwa meskipun kondisi negara tidak selalu stabil, masyarakat harus tetap berkontribusi, sekecil apa pun. “Departemen Riset dan Pendidikan DPW PMPI Jawa Tengah telah meluncurkan buku berjudul ‘Demi Indonesia’ sebagai bentuk upaya dalam menjaga dan mengembangkan budaya bangsa,” ujarnya. Ia menekankan bahwa budaya adalah identitas bangsa yang harus tetap dijaga dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Habib Fata turut menekankan pentingnya kecintaan terhadap tanah air dalam aspek kebudayaan. “Budaya kita adalah jati diri bangsa. Jika kita tidak menjaga dan melestarikannya, maka kita kehilangan arah,” tuturnya. Ia mendorong generasi muda untuk mulai berpikir mengenai kondisi budaya saat ini dan mencari cara untuk menjaga serta menumbuhkan rasa cinta terhadap warisan leluhur. “Jangan sampai budaya kita terlupakan atau bahkan terhapus oleh zaman,” tegasnya.
Sementara itu, Mbah Tanto menggarisbawahi bahwa kemajuan teknologi digital harus diperbarui dan dimanfaatkan untuk mendukung kebudayaan. Ia menyoroti bahwa Borobudur bukan hanya sekadar peninggalan sejarah, tetapi juga simbol peradaban yang harus terus dipelihara. “Borobudur adalah bukti kejayaan budaya kita di masa lalu. Ini bukan hanya monumen, tetapi juga saksi bisu perjalanan bangsa kita. Jika kita abai, maka generasi mendatang tidak akan mengenali akar budayanya sendiri,” ungkapnya. “Budaya bukan hanya tentang bahasa, tetapi juga mencakup pertanian dan sejarah agro,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Sugiarto menegaskan perlunya menghidupkan kembali kebudayaan Mataram Kuno dengan menanamkan nilai-nilai budaya dalam kehidupan sehari-hari. “Kebudayaan bukan sekadar simbol, tetapi nilai yang membentuk karakter bangsa. Jika kita tidak menghargai sejarah, kita tidak bisa membangun masa depan yang kuat,” jelasnya. Ia juga menyoroti pentingnya menggalakkan kembali sistem pertanian tradisional yang memiliki nilai sosial lebih tinggi dibandingkan sekadar orientasi keuntungan semata. “Pertanian tradisional bukan sekadar cara bercocok tanam, tetapi juga mencerminkan keseimbangan antara manusia dan alam,” tambahnya.
Isu ketahanan pangan juga menjadi perhatian utama dalam diskusi ini. Para tokoh sepakat bahwa kemandirian pangan harus dimulai dari individu dengan kembali bertani. “Ketahanan pangan adalah fondasi kedaulatan bangsa. Jika kita tidak bisa mencukupi kebutuhan pangan sendiri, maka kita akan selalu bergantung pada pihak luar,” ujar salah satu peserta diskusi. “Ketahanan pangan harus selalu bersanding dengan nilai sosial. Rasa empati dan simpati antar sesama tidak boleh hilang dalam masyarakat kita,” tambahnya.
Diskusi ini menegaskan bahwa pemuda adalah cerminan para pendahulu dan harus semakin semangat serta produktif dalam menjaga budaya bangsa. Teknologi diharapkan menjadi alat untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kemasyarakatan yang mulai tergerus serta menggerakkan kembali budaya yang hampir punah.
Pengirim: Imamu Muttaqin dan A’isy Hanif Firdaus
Editor : Sahrul

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.