DESAMERDEKA.ID – Joko Koentono : Di tengah gejolak politik dalam negeri yang rumit dan konfrontasi Malaysia – Indonesia, 1964, dua orang anggota KKO (sekarang : Marinir) gugur di tiang gantung. Sentimen anti Malaysia yang, oleh Bung Karno disebut sebagai antek NEKOLIM telah menyebar, bagai virus, ke mana-mana. Di Jawa Timur, menyebut karakteristik KKO / Marinir kesayangan mereka, dalam kiasan MERAH-HIJAU.
MERAH di situ mengandung arti ‘Nasionalisme Soekarno’. HIJAU merupakan tengara warna seragam TNI – dalam hal ini KKO / Marinir. Semacam penegasan bagaimana KKO / Marinir merupakan garda loyalis Soekarno. Hal itu dipertegas melalui pernyataan komandannya, kala itu : “Merah kata Soekarno, Merah kata KKO”.
Di sisi lain, kelompok Nasionalis Soekarno, sosialisme progresif dan komunisme sedang berada pada posisi head to head di hadapan garis-garis loyalis Masyumi. Peristiwa 1965 membawa perubahan besar pada bentuk dan iklim perpolitikan Indonesia. Relasi kebangsaan antara MERAH-HIJAU dalam konteks Soekarnois- Komunisme dan Masyumi semakin meruncing. Korban berjatuhan. Satu juta jiwa, atau lebih, meregang nyawa secara mengenaskan.
Awal 1980, menjadi pelengkap peristiwa 1978 : Normalisasi Kehidupan Kampus – upaya pembungkaman ekspresi politik di lingkungan kampus diberlangsungkan. Di situ muncul tengara MERAH-HIJAU baru mewakili penanda adanya polarisasi di tubuh TNI : Kristen – Islam. Lebih dari sekedar tengara kubu A dan B, kemudian berkembang menjadi simpul polarisasi sosio-kultural yang dihidupkan, oleh pemerintah Orde Baru. Masih laku dijual sampai saat ini. Memanasnya relasi Cebong-Kampret, demikian mudah dibaca, bersumber dari skema itu.
1995, bersal dari pernyataan Gus Dur pada Muktamar NU di Situbondo, 1984, muncul artikulasi MERAH-HIJAU beda, sebagai tengara karakteristik NU sebagai entitas Islam-Nasionalis atau Naslionalis-Islam. Di satu sisi Gus Dur, melalui perlambangan ‘semangka’ – tengara visual lain tentang ‘merah-hijau’ : luarnya ‘hijau’ namun dalamnya ‘merah’ ingin menyelamur (upaya mengurangi) resistensi ‘merah-hijau’ dalam tengara TNI Kristen- dan TNI Islam’. Sementara Mudrik Sangidu, di Solo, kembali menarik ke arah praksis menjadi MEGA – BINTANG.
Senyawa MERAH-HIJAU sesuai ‘garapan’ Gus Dur bersama kolega sepemikirannya telah berhasil meletakkan eviden kesadaran pada generasi muda NU, menular ke PDIP, dan kerja sama-kerja sama Soekarnois, Nasionalis (tidak sedikit dari mereka terdiri para pemeluk agama Kristen Protestan, Katholik, Buddha, Hindu dan Penghayat Ketuhanan) – Islam (NU).
……………..
2004 – 2015, bersama mendiang Budi Djarot, mendiang Galih Wijil Pangarsa dan Heri Syaefuddin Gonku, coba mengartikusi tengara MERAH-HIJAU sesuai peta masalah serta tuntutan realita saat ini, sekaligus proyeksi masa depannya. Sifatnya keberlangsungannya serba soft dan cenderung ‘malu-malu’. Meninggalnya Budi Djarot setahun lalu, dan Galih Wijil Pangarsa, 2013, membuat saya ‘berkelana’ sendiri.
Berulang coba mengajak banyak pihak untuk memperkuat senyawa MERAH-HIJAU ‘baru’ dalam ikatan berbangsa dan Negara, tahun 2014 – iklim Pilpres yang dimenangi Jokowi-JK – belum berhasil memantik semangat kesertaan lebih luas. Sampai waktu belum lama ini, beberapa teman muda dari Jakarta, Depok dan Bandung berkontak untuk mengaktivasi MERAH-HIJAU sesuai artikulasi yang pernah disusun sebelumnya :
Bahwa : MERAH – HIJAU merupakan senyawa kelompok masyarakat yang punya akar lingkungan sosial, budaya, politik dan kecenderungan-kecenderungan cinta tanah air, agama, religiusitas dan spritualitas dalam ikatan relasi Publik-Republik.
MERAH, di sini – lebih dari sekedar tengara kesadaran nasional – juga berarti kecerdasan, intelektualitas, budaya, kebudayaan, daya saing, dan lain-lain. HIJAU, dalam konteks kebangsaan menjadi tengara Islam moderat, kebersamaan agama-agama, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, Penghayat Ketuhanan, religiusitas dan spiritualitas. HIJAU, dalam perlambangan lebih jauh juga berarti : kebumian, hal-hal yang terus tumbuh, pelestarian dan keberkangsung terus-menerus. Perlu kami tambahkan kata ‘kebangsaan’ menjadi bagian penegas bagaimana MERAH-HIJAU merupakan kolektivitas berbangsa dalam tanggungjawab untuk menghidupkan gerak – langkah NEGARA.
MERAH-HIJAU KEBANGSAAN ke depan bukan lagi sebagai tengara dikotomikal atau kontradiksi yang head to head, melainkan senyawa – ‘kesetangkepa’ : Loro Kang Nyawiji, saling kemawin dan beranak pinak, melahirkan adat, adab, akal-budi, peradaban yang membawa kebaikan-kebaikan.
Sebagai bentuk perhimpunan, MERAH-HIJAU KEBANGSAAN memilih bidang kerja, pemajuan serta pemulian-pemuliaan lebih jauh di bidang : Pendidikan, Kebudayaan, Lingkungan Hidup, Perempuan – Anak-Anak dan Kepemudaan, Sumber Daya Manusia, Kebersamaan Sosial dan Berbangsa, Koperasi, Ekonomi Kerakyatan, Kedaulatan Pangan, Keselarasan Pembangunan Desa – Kota dan relasi Global-Lokal.
Akan dihidupkan dalam semangat Non Partisan, Non Sektarian dan Non Bisnis. Semoga kelahirannya nanti, dalam waktu tidak lama, bisa membawa suasana berpikir dan bertindak yang bermanfaat terhadap keberlangsungan Republik.
Bandung, 2 Mei 2023
Joko Koentono
Info : +62 812-9768-3140
Pegiat Sosial Budaya tinggal di Borobudur Magelang
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.