Opini [DESA MERDEKA] – Salah satu janji besar Presiden Prabowo dalam masa kampanyenya adalah menaikkan Dana Desa menjadi Rp 5 miliar per desa. Janji itu bukan sekadar angka, melainkan simbol dari komitmen politik untuk membangun Indonesia dari pinggiran, memulihkan kedaulatan ekonomi desa, serta memperkuat peran masyarakat dalam mengelola sumber daya mereka sendiri.
Namun kini, hanya beberapa bulan setelah pemerintahan berjalan, janji itu terancam menjadi janji kosong. Penyebabnya bukan pada ketidakmampuan fiskal negara, melainkan pada kerancuan kebijakan dan kegagalan empat kementerian kunci—Menko Pangan, Menteri Desa-PDT, Menteri Koperasi, dan Menteri Keuangan—dalam memahami konsep KDMP dan AstaCita Prabowo.
Kesalahan memahami arah kebijakan ini bukan hal kecil. Akibatnya, desa kembali menjadi korban, dan lebih parah lagi, UU Desa diterjang oleh kebijakan yang semestinya melindungi desa, bukan mengekang mereka.
Akar Masalah: Para Menteri Salah Memahami KDMP Sebagai Program Pemerintah
KDMP (Koperasi Dewan Masyarakat Produsen) sejatinya adalah koperasi primer milik warga desa, dibentuk dari kehendak anggota, bukan institusi pemerintah. Ini adalah gerakan ekonomi rakyat yang seharusnya tumbuh secara organik, bukan diciptakan lewat instruksi presiden atau menteri.
Namun Menko Pangan, Mendesa PDT, Menkop UKM, dan bahkan Kemenkeu memperlakukannya seolah-olah:
- instrumen distribusi pangan nasional,
- pelaksana program “makan bergizi gratis”,
- subordinat kementerian,
- wadah penyerap anggaran dari pusat.
Kesalahan konseptual ini fatal. Negara boleh mendorong, memfasilitasi, atau memberi insentif, tetapi tidak boleh mengintervensi struktur koperasi hingga menghilangkan otonomi anggotanya. Ketika KDMP diperlakukan sebagai program, ia kehilangan identitas dan kedaulatan rakyat desa.
Menko Pangan Mendorong KDMP sebagai Rantai Logistik Negara — Bukan Ekonomi Anggota
Menko Pangan mendorong KDMP untuk menjadi:
- operator distribusi pangan,
- jaringan logistik pemerintah,
- mitra penyaluran program makan bergizi.
Padahal hakikat koperasi adalah kedaulatan anggota, bukan kepanjangan tangan pemerintah. KDMP dipaksa mengerjakan tugas negara, bukan kebutuhan anggotanya.
Di sinilah desa mulai terjepit:
- jika koperasi menjalankan agenda pemerintah, ia tidak lagi bisa menjalankan fungsi ekonomi anggota,
- jika dana desa diarahkan untuk menopang KDMP, desa kehilangan ruang untuk prioritas asli mereka.
Menteri Desa dan UU Desa: Kekeliruan Fatal dalam Penggunaan Dana Desa
UU Desa sudah sangat jelas:
- Dana Desa tidak boleh digunakan untuk mendanai badan usaha privat (termasuk koperasi) tanpa musyawarah desa.
- Dana Desa harus berbasis kewenangan lokal dan kebutuhan warga.
- Pemerintah pusat tidak boleh memaksakan struktur organisasi atau model usaha tertentu.
Namun Mendesa-PDT gagal menjaga marwah UU Desa. Ia justru:
- menyetujui pendorongan dana desa sebagai modal KDMP,
- mendorong pembentukan KDMP secara seragam nasional,
- menempatkan desa sebagai objek pelaksana, bukan subjek pembangunan.
Ini bukan sekadar salah langkah. Ini adalah pelanggaran prinsip rekognisi dan subsidiaritas yang menjadi roh UU Desa.
Kemenkop Menjadikan KDMP sebagai “Program Koperasi”
Seharusnya Kemenkop menjadi benteng terakhir yang memastikan koperasi tumbuh dari bawah. Namun yang terjadi:
- KDMP dijadikan target pembentukan massal,
- diarahkan mengikuti template dari atas,
- dan didorong menjadi pelaksana kebijakan pangan.
Ini bertentangan dengan prinsip koperasi internasional (ICA) dan UU Perkoperasian.
Koperasi tidak boleh dibuat berdasarkan instruksi negara—karena ketika negara masuk terlalu jauh, koperasi kehilangan jiwa rakyatnya.
Kementerian Keuangan Keliru Memahami Konteks Dana Desa & AstaCita
Kemenkeu berperan besar menentukan arah Dana Desa. Alih-alih memastikan dana desa benar-benar dipakai untuk kebutuhan dasar warga, Kemenkeu:
- membuka peluang skema penyaluran dana desa ke koperasi,
- tidak mengoreksi penyimpangan konsep KDMP sebagai proyek pemerintah,
- dan tidak memahami bahwa AstaCita Prabowo mengarahkan dana desa untuk warga, bukan struktur kelembagaan.
Hasilnya: kebijakan fiskal menjadi kabur, dan desa semakin bingung.
Desa Menjadi Korban Kebijakan yang Tidak Konsisten
Ketidaktepatan arah kebijakan empat kementerian menciptakan kondisi berbahaya:
1) Desa dibebani struktur baru yang tidak mereka pahami.
KDMP didorong, tapi tanpa kapasitas, tanpa pelatihan berbasis kebutuhan, dan tanpa kesadaran anggota.
2) Dana desa diarahkan ke struktur yang tidak sesuai mandat UU.
Ini membuat desa rawan diperiksa, rawan disalahkan, dan rawan kriminalisasi.
3) Otonomi desa terkikis.
Arah pembangunan bergeser dari “berdasarkan musyawarah desa” menjadi “berdasarkan instruksi kementerian”.
4) Warga desa kehilangan manfaat langsung.
Alih-alih digunakan untuk gizi, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan UMKM desa, Dana Desa justru diarahkan ke badan yang bukan bagian dari pemerintahan desa.
Akibat Terbesar: Janji Prabowo Rp 5 Miliar per Desa Terancam Menjadi Janji Kosong
Prabowo berjanji menaikkan Dana Desa menjadi Rp 5 miliar per desa untuk:
- gizi anak dan ibu,
- layanan kesehatan dasar,
- perbaikan infrastruktur kecil,
- penguatan ekonomi rakyat,
- peningkatan kesejahteraan.
Namun jika arah kebijakan seperti sekarang, maka janji itu tidak akan terasa sampai ke warga desa.
Mengapa?
A. Dana Desa akan tersedot ke struktur koperasi yang salah arah.
Jika KDMP dijadikan kendaraan pemerintah, dan bukan gerakan warga, maka Rp 5 miliar tetap tidak menyentuh masyarakat.
B. Program yang salah konsep akan menelan anggaran besar tanpa hasil.
KDMP sebagai logistik pangan adalah kesalahan besar yang memakan biaya tinggi dan tidak berkelanjutan.
C. Desa tidak akan punya ruang mengalokasikan dana sesuai kebutuhan lokal.
Pada akhirnya, dana sebesar apa pun tidak akan berdampak tanpa ruang musyawarah.
D. Muncul risiko kriminalisasi desa akibat penyimpangan penggunaan dana akibat kebijakan pusat.
Ini akan membuat desa takut menggunakan dana, dan akhirnya dana desa mandek.
Dengan kata lain:
Jika para menteri terus salah memahami KDMP dan AstaCita, maka janji Rp 5 miliar per desa tidak akan pernah benar-benar sampai kepada rakyat.
Janji itu akan menjadi janji kosong, bukan karena Presiden tidak mau menepati, tetapi karena kabinetnya gagal memahami mandatnya.
Saatnya Presiden Mengoreksi Kesalahan Arah
Presiden Prabowo perlu mengambil langkah korektif:
- Menegaskan kembali bahwa KDMP adalah koperasi primer milik warga, bukan proyek pemerintah.
- Memastikan Dana Desa hanya digunakan sesuai mandat UU Desa dan keputusan musyawarah.
- Mengarahkan kementerian untuk memahami AstaCita dengan benar, bukan menafsirkannya seenaknya.
- Memastikan kebijakan pangan tidak membebani desa dengan struktur yang tidak relevan.
- Menjamin bahwa janji Rp 5 miliar bukan sekadar angka, tetapi manfaat yang benar-benar dirasakan warga desa.
Jika tidak dilakukan, maka pemerintahan ini berpotensi mengulang kesalahan masa lalu: desa kembali menjadi objek, bukan subjek pembangunan.
Dan ketika itu terjadi, bukan hanya KDMP yang gagal, tetapi kepercayaan rakyat desa kepada negara juga runtuh.

Jurnalis dan Pegiat Pemberdayaan Masyarakat Peduli Desa. Saat ini adalah Ketua Komunitas Desa Indonesia dan Koordinator Mobile Journalist Desa

















Makin kesini justru makin kesana. Sekarang pada sibuk ngurusin lahan untuk pembangunan gerai, padahal waktu awalnya targetnya adalah aktivasi KDMP kembali. Dulu tidak perlu lahan, sekarang terkesan wajib harus ada lahan untuk pembangunan gerai.