Menu

Mode Gelap
Dharmasraya Kembangkan 52 Produk Unggulan dengan Program Nagari Tematik 11 Desa di PALI Terendam Banjir, Polisi Siaga Evakuasi dan Koordinasi Bantuan Program Sejahtera dari Desa Lombok Barat: Bukan Bagi Uang, Tapi Pengembangan Potensi Desa Mobil Siaga Desa Bermasalah, Bupati Situbondo Tegas Lakukan Pembinaan Pemilihan PAW Kades Sekara Ricuh, Warga Tuding Ada Intervensi dan Nepotisme

OPINI · 8 Apr 2023 18:58 WIB ·

Entang Sastraatmadja : Alih Kepemilikan Lahan, Ancaman Bagi Dunia Pertanian !


					Entang Sastraatmadja :  Alih Kepemilikan Lahan, Ancaman Bagi Dunia Pertanian ! Perbesar

ENTANG SASTRAATMADJA : Masa depan pertanian di dunia ini, pada hakekatnya akan sangat ditentukan oleh kualitas lahan pertanian dan keberadaan para petani yang akan menggarap lahan pertanian tersebut. Selain itu, tentu masih ada hal-hal lain yang menjadi kekuatan dalam mempertahankan keberlanjutan pertanian itu sendiri. Salah satunya adalah keberpihakan Pemerintah saat ini untuk melestarilan sektor pertanian.

Betul, bila ada pandangan yang menyatakan sektor pertanian itu perkasa. Pertanian memang keren. Bahkan pertanian layak dikatakan sebagai sektor yang tidak ada mati nya. Itu sebabnya, sebagai bangsa yang hidup di negeri agraris, kita memiliki kehormatan untuk menjaga, memelihara dan melestarikan pertanian sebagai sumber kehidupan dan sumber penghidupan masyarakat.

Adanya perilaku oknum yang ingin meminggirkan sektor pertanian dari panggung pembangunan, tentu perlu kita lawan. Jangan biarkan pertanian termarginalkan hanya untuk memuaskan kepentingan segelintir orang. Pertanian adalah investasi kehidupan dari generasi ke generasi. Pertanian inilah yang membuat nyawa bangsa tersambung dari waktu ke waktu.

Selanjutnya, di negara kita sendiri, paling tidak, ada dua persoalan serius, mengapa lahan pertanian pangan pantas disebut merisaukan. Pertama karena terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan produktif ke non pertanian yang terekam semakin membabi-buta, dan kedua adanya fakta, lahan pertanian pangan, khususnya sawah, kini sedang sakit parah, karena lebih dari 50 tahun, terus-terusan dibombardir oleh penggunaan pupuk kimia.

Di negeri ini, alarm krisis lahan pertanian sendiri, sebetulnya telah berkelap-kelip sejak lama. Sinyalnya, sudah bukan kuning lagi, namun sudah memperlihatkan warna kemerah-merahan. Anehnya, jarang sekali para penentu kebijakan, baik di tingkat Pusat atau Daerah yang serius mencermatinya. Alih fungsi dan semakin tidak sehatnya lahan pertanian pangan, bagi mereka dinilai sebagai hal yang biasa-biasa saja, sehingga tidak ada penanganan serius yang ditempuh Pemerintah.

Ironis memang. Di saat para pegiat konservasi lingkungan dan lahan berjuang untuk menekan alih fungsi lahan yang membabi-buta, ternyata para penentu kebijakan terlihat seperti yang tidak hirau atas fenomena yang tengah berlangsung. Lebih sedihnya lagi, Pemerintah seperti yang kurang peduli dengan semakin mengecilnya “ruang pertanian”. Mereka dengan gampang, seolah tanpa beban, merevisi RTRW sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Resikonya, lahan pertanian pangan semakin mengecil yang membuat produksi tidak mampu ditingkatkan secara signifikan. Hal ini barangkali yang membuat Provinsi Jawa Barat dapat disalip oleh Provinsi Jawa Tengah dalam menghasilkan produksi padinya. Alih fungsi lahan yang terjadi di Jawa Tengah tidak seheboh yang berlamgsung di Jawa Barat. Di sisi lain, upaya Pemerintah untuk melakukan pencetakan sawah baru, hampir tidak ada yang memuaskan.

Pengendalian Tata Ruang dan Wilayah, khususnya ruang untuk pertanian, sudah saatnya dijadikan prioritas oleh para penentu kebijakan, terutama para Kepala Daerah dalam merumuskan perencanaan pembangunannya. Gubernur dan Bupati/Walikota, perlu tampil sebagai pembawa pedang Samurai dalam menyelematkan lahan pertanian yang tersisa agar tidak dialih-fungsikan secara membabi-buta.

Alih fungsi lahan pertanian pangan produktif, hanya bisa dilakukan dalam kondisi yang sangat mendesak. Selama masih ada langkah lain yang dapat ditempuh, alih fungsi tidak bisa dilakukan. Komitmen inilah yang mesti melekat dalam nurani terdalam para Kepala Daerah. Catatan kritisnya adalah apakah dalam suasana kekinian, masih akan ada Kepala Daerah yang mau berkomitmen sebagaimana digambarkan diatas ?

Menjadi Kepala Daerah seusai lahirnya Pemerintahan Orde Reformasi, tidaklah sesederhana di era Pemerintahan Orde Baru. Menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota di jamannya Pak Harto, tidak terlalu membutuhkan dana yang sangat besar. Ukuran prestasi, dedikasi, loyaliras dan tidak tercela (PDLT), lebih mengemuka ketimbang hal lainnya. Namun, di era Reformasi untuk menjadi seorang Kepala Daerah, sangat memerlukan modal yang sangat besar.

Dengan kata lain, di era sekarang, menjadi Kepala Daerah itu, tidak ada yang gratis. Menjadi Bupati misalnya, tidak cukup hanya bermodalkan idealisme atau cuma semangat. Tanpa cuan, jangan harap bisa jadi Kepala Daerah. Menurut pengalaman, untuk menjadi Bupati di pulau Jawa membutuhkan modal milyaran rupiah. Artinya, kalau hanya punya uang ratusan juta rupiah, lebih baik ngak usah nyalon jadi Kepala Daerah.

Apa yang menarik dari fenomena seperti ini ? Apakah para Kepala Daerah akan memikirkan soal lahan pertanian sekitanya telah terpilih nanti ? Mana yang lebih cepat mengembalikan modal kampanye : apakah sektor pertanian atau sektor infrastruktur dalam pengelolaan pembangunan daerahnya ? Jujur harus diakui, sektor pertanian sangatlah sulit untuk dapat dengan cepat mengembalikan modal kampanye. Akibatnya, wajar jika pertanian akan dipinggirkan dalam pengelolaan pembangunan daerahnya.

Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, boleh jadi tidak bisa dihindari. Seiring dengan menggelinding nya perjalanan pembangunan, membuat alih fungsi harus terjadi. Kesadaran untuk melakukan pengendalian berkualitas terhadap alih fungsi lahan, sebetul nya telah ditempuh.

Dari sisi regulasi misal nya, kita telah melahirkan Undang Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Peraturan Daerah lengkap dengan Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota juga telah diterbitkan. Celaka nya, seabreg regulasi ini terekam seperti yang tidak ampuh melawan alih fungsi lahan.

Antara regulasi dengan fakta di lapangan seperti yang “tojai’ah”. Seluruh komponen bangsa, tentu melihat dan merasakan fenomena yang demikian. Catatan kritis nya adalah mengapa hal yang semacam ini harus terjadi ? Benarkah Pemerintah sudah tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengendalian ? Apakah mungkin Pemerintah pura-pura merem atas apa yang berlangsung di lapangan ?

Lahan pertanian, khusus nya sawah adalah kekayaan bangsa yang perlu dijaga, dipelihara dan dilestarikan keberadaan nya. Sawah merupakan investasi kehidupan. Sawah inilah “pabrik” makanan utama manusia. 90 % lebih penduduk Indonesia sangat tergantung kepada nasi sebagai pangan pokok yang dikonsumsi.

Serbuan terhadap penggerusan lahan sawah seperti nya tidak bisa dibendung. Penanganan nya, ternyata tidak cukup hanya dengan melahirkan regulasi setingkat Undang Undang atau Peraturan Daerah. Pengalaman menunjukkan, yang lebih diperlukan adalah tataran penerapan nya di lapangan. Apalah arti nya Undang Undang jika tidak diterapkan dengan konsisten. Lebih parah nya lagi Undang Undang tersebut lebih mengemuka sebagai pemanis pidato para pejabat semata.

Nasi akan tersedia di meja makan, kalau ada sawah atau huma. Bila tidak ada lagi sawah, bisa jadi kita akan kesulitan untuk mendapatkan nasi. Itu sebab nya, upaya melestarikan sawah yang ada, sepatut nya jadi prioritas kebijakan pembangunan pertanian di masa kini dan mendatang. Sawah yang tersisa, sebaiknya tidak dialih-fungsikan. (PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Follow WhatsApp Channel Desamerdeka.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow
Artikel ini telah dibaca 111 kali

badge-check

Jurnalis

Tinggalkan Balasan

Baca Lainnya

Mudik Nyaman dan Berkesan: Informasi Desa Kunci Sukses Libur Lebaran

18 Maret 2025 - 05:14 WIB

Pendamping Desa: Polemik dan Tantangan dalam Pendampingan Pembangunan Desa

5 Maret 2025 - 21:15 WIB

Maksimalkan Potensi Desa: Pentingnya Thumbnail YouTube Berkualitas dalam Pemberitaan

5 Maret 2025 - 15:15 WIB

Prapanca Modern: Menelusuri Jejak Pelestarian Budaya Desa di Nusantara

26 Januari 2025 - 12:43 WIB

Terungkap! Rahasia di Balik Keretakan Rumah Tangga: Bukan Hanya Orang Ketiga

22 Januari 2025 - 22:39 WIB

Mengembangkan BUMDes Sebagai Pilar Kemandirian Ekonomi Desa

1 Januari 2025 - 11:44 WIB

Trending di OPINI