Indramayu [DESA MERDEKA] – Kabupaten Indramayu menghadapi krisis pengelolaan sampah yang mengkhawatirkan di tingkat pedesaan. Data terbaru mengungkap bahwa mayoritas desa, tepatnya 218 dari total 309 desa (70,5%), belum memiliki sistem pengelolaan sampah yang memadai. Fakta ini diungkapkan oleh Hilmi Hilmansyah, S.T., M.P.W.K., seorang ahli planologi dan Koordinator Kabupaten Indramayu untuk program Patriot Desa Jawa Barat.
Lebih lanjut, Hilmi mengungkapkan temuan yang lebih mencengangkan. Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Provinsi Jawa Barat per 31 Desember 2024, masih terdapat 17 desa di Indramayu yang melakukan praktik open dumping. Praktik pembuangan sampah secara terbuka tanpa pengolahan ini menimbulkan ancaman serius bagi kerusakan lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar.
Minimnya infrastruktur pengelolaan sampah menjadi akar permasalahan utama. Sebagian besar desa di Indramayu masih mengandalkan metode pembakaran atau penimbunan sampah secara mandiri, yang seringkali tidak efektif dan berpotensi mencemari lingkungan. Hilmi menyoroti bahwa ketersediaan fasilitas Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) sangat terbatas, hanya tercatat di 15 desa saja. Selain itu, keterbatasan sumber daya manusia yang kompeten dan kurangnya edukasi mengenai pengelolaan sampah yang benar turut memperparah kondisi ini.
Meskipun demikian, ada secercah harapan. Sebanyak 27 desa di Indramayu telah mencoba menerapkan sistem pengelolaan sampah kombinasi, seperti pengomposan dan daur ulang. Namun, ironisnya, 32 desa lainnya dilaporkan belum melakukan pengelolaan sampah sama sekali. Kondisi ini menempatkan Indramayu sebagai kabupaten dengan jumlah desa terbanyak di Jawa Barat yang belum memiliki sistem pengelolaan sampah yang terstruktur.
Dari perspektif provinsi, Indramayu menduduki peringkat ke-13 dari 19 kabupaten/kota dalam hal implementasi TPS3R dan peringkat ke-10 dalam penggunaan sistem kombinasi pengelolaan sampah. Capaian ini dinilai jauh tertinggal dibandingkan dengan kabupaten lain yang memiliki jumlah desa lebih sedikit namun menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam pengelolaan sampah.
Ancaman bagi Indramayu tidak hanya terbatas pada risiko pencemaran lingkungan dan masalah kesehatan. Hilmi juga mengingatkan potensi hilangnya akses terhadap bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pernyataan tegas Gubernur Jawa Barat sebelumnya menyatakan bahwa desa yang tidak memiliki sistem pengelolaan sampah yang baik tidak akan menerima kucuran dana bantuan provinsi.
Untuk mengatasi permasalahan pelik ini, Hilmi mengusulkan beberapa solusi strategis. Pembentukan TPS3R kolektif yang melayani beberapa desa sekaligus dapat menjadi solusi efisien dalam keterbatasan sumber daya. Pelibatan aktif program Patriot Desa dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) juga dinilai penting untuk menggerakkan inisiatif pengelolaan sampah di tingkat lokal. Selain itu, peningkatan kapasitas kelembagaan desa melalui pelatihan dan pendampingan menjadi kunci keberhasilan jangka panjang.
Kolaborasi dengan sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil juga didorong untuk mempercepat adopsi teknologi dan praktik pengelolaan sampah yang inovatif. Hilmi mencontohkan inisiasi Gerakan Ekonomi Sirkular Indramayu (Genius-Ayu) yang mengolah limbah organik menjadi pelet alternatif sebagai langkah positif yang perlu dukungan lebih luas. Pemanfaatan teknologi seperti mesin pencacah plastik hingga 3D printing dari material daur ulang juga berpotensi membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat desa.
“Tujuan kita bukan hanya Indramayu bersih dari sampah, tetapi juga bagaimana sampah bisa menjadi sumber daya yang bernilai ekonomi. Untuk mewujudkan ini, dibutuhkan sinergi dan dukungan dari seluruh pihak,” pungkas Hilmi.
Redaksi Desa Merdeka
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.